Di tengah arus globalisasi yang kian deras, perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia terus mengalami dinamika yang menarik, terutama antara dua organisasi terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Keduanya tidak hanya mewakili tradisi keislaman yang berbeda, tetapi juga merespons perubahan zaman dengan cara yang khas.
Jika Muhammadiyah dikenal dengan pendekatan modernisnya yang rasional dan purifikasi, NU lebih mengedepankan kontekstualisasi fiqh berbasis tradisi (turats) dan kearifan lokal. Namun, di era Generasi Z, Alpha, dan Beta—yang hidup dalam dunia digital yang serba instan, cair, dan tanpa batas—pertanyaannya adalah: Bagaimana kedua arus pemikiran ini tetap relevan?
Penulis: Nashrul Mu’minin – Content Writer, Yogyakarta
Ujian Adaptasi Muhammadiyah-NU di Era Digital
Muhammadiyah, sejak awal, dikenal sebagai gerakan pembaruan yang menekankan pentingnya ijtihad dan pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan khurafat. Dalam konteks hukum, Muhammadiyah cenderung mengadopsi pendekatan tekstual-rasional, dengan merujuk langsung pada Al-Qur’an dan Hadis, sambil memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Di era digital sekarang, di mana informasi tersebar cepat dan generasi muda lebih kritis terhadap dogma, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan besar: bisakah modernisme hukumnya tetap fleksibel tanpa kehilangan identitas?
Generasi Z dan Alpha, yang hidup di tengah disrupsi teknologi, tidak lagi puas dengan jawaban normatif. Mereka mempertanyakan keabsahan fatwa-fatwa keagamaan yang tidak menyentuh realitas kekinian. Misalnya, isu kripto, AI, bioteknologi, dan hak reproduksi membutuhkan respons hukum yang tidak sekadar hitam-putih. Muhammadiyah harus berani keluar dari zona nyaman “fiqh lama” dan membangun metodologi ijtihad baru yang lebih dinamis—tanpa terjebak pada formalisme yang kaku.
Sementara itu, NU dengan fiqh berbasis tradisi (ahlussunnah wal jama’ah) dan prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) justru memiliki modal kuat untuk merespons perubahan zaman. Pendekatan NU yang lentur, mengakomodasi budaya lokal, dan mengutamakan maslahat, membuatnya lebih adaptif di era digital.
Tapi, di tengah generasi yang semakin individualistik dan skeptis terhadap otoritas ulama, NU juga diuji. Akankah fiqh sosialnya tetap relevan ketika anak muda lebih memilih TikTok daripada pengajian kitab kuning? NU harus membuktikan bahwa tradisi bukan sekadar ritual kolot, melainkan kerangka berpikir yang bisa menjawab tantangan modern—seperti isu keadilan iklim, kesetaraan gender, dan ekonomi digital. Jika tidak, NU bisa kehilangan generasi mudanya yang lebih tertarik pada gerakan-gerakan Islam global yang lebih “trendy”.
Lalu, Siapa yang Lebih Siap Menghadapi Masa Depan?
Pertarungan pemikiran hukum antara Muhammadiyah dan NU di era digital ini bukan lagi soal mana yang lebih benar, tapi mana yang lebih mampu berdialog dengan realitas kekinian. Muhammadiyah harus berani melakukan lompatan metodologis, sementara NU perlu mentransformasi tradisinya menjadi sesuatu yang lebih segar dan mudah dicerna generasi digital.
Yang jelas, keduanya tidak bisa lagi bersikap reaktif. Generasi Beta (yang akan lahir dan besar di era AI dan metaverse) tidak akan peduli dengan perdebatan lama. Mereka butuh hukum Islam yang progresif, inklusif, dan solutif—bukan sekadar warisan pemikiran abad ke-20.
Perkembangan pemikiran hukum Islam di Muhammadiyah dan NU di era Generasi Z, Alpha, dan Beta tidak lagi sekadar pertarungan antara modernisme dan tradisionalisme, melainkan ujian adaptasi terhadap perubahan zaman. Muhammadiyah harus keluar dari kecenderungan tekstual yang kaku dan mengembangkan ijtihad progresif untuk menjawab isu-isu kontemporer seperti teknologi, keadilan sosial, dan hak asasi manusia.
Sementara NU, meski memiliki fleksibilitas fiqh kontekstual, harus mentransformasi warisan tradisinya menjadi relevan bagi generasi digital yang skeptis terhadap otoritas ulama. Keduanya dituntut untuk tidak hanya mempertahankan identitas, tetapi juga berani berinovasi agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat muda yang semakin kritis dan terhubung dengan dunia global.
Masa depan pemikiran hukum Islam tidak akan dimenangkan oleh pendekatan yang paling konservatif atau yang paling liberal, melainkan oleh yang paling responsif terhadap realitas baru. Muhammadiyah dan NU memiliki peluang besar untuk memimpin percakapan hukum Islam di tingkat global jika mampu menggabungkan kekuatan masing-masing: rasionalitas dan pembaruan Muhammadiyah, serta kearifan lokal dan kelenturan NU. Jika keduanya gagal beradaptasi, gelombang disrupsi digital akan melahirkan generasi Muslim yang mencari jawaban di luar arus utama—entah melalui gerakan Islam transnasional, pemikiran sekular, atau bahkan skeptisisme religius. Tantangannya jelas: berubah atau tergantikan
Jadi, siapa yang akan menang? Bukan Muhammadiyah atau NU, melainkan pemikiran hukum Islam yang berani berubah tanpa kehilangan jati diri. Jika tidak, keduanya akan ditinggalkan oleh zaman.