Fenomena unik tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Sebuah gerai makanan cepat saji ternama, McDonald’s, yang biasanya ramai pengunjung, kini tampak sepi. Sementara di sebelahnya, restoran Almas justru diserbu pembeli. Padahal dari segi fasilitas dan kenyamanan, McD sudah tidak diragukan lagi. Brand ini dikenal luas, menampilkan standar layanan tinggi, tempat yang bersih dan nyaman, serta menu yang telah lama digemari masyarakat.
Namun, sepi-nya McD kali ini tampaknya bukan karena persaingan rasa atau kualitas layanan. Publik mulai melihat aspek lain yang lebih dalam: value dan moral. Di era digital yang serba cepat dan terbuka, konsumen kini semakin sadar terhadap isu sosial dan kemanusiaan. Mereka tidak lagi hanya membeli produk, tapi juga membeli value di balik produk tersebut.
“Sekarang orang beli enggak cuman pakai duit, tapi pakai hati,” tulis seorang netizen dalam unggahan viral. Dalam konteks ini, kehadiran Almas yang lebih lokal dan dianggap mewakili nilai solidaritas terhadap isu-isu kemanusiaan, menjadi magnet kuat bagi konsumen yang ingin menyuarakan empati mereka lewat tindakan nyata: memilih tempat makan yang sesuai dengan prinsip moral mereka.
Dalam sebuah episode podcast Kasih Solusi, Okta Wirawan Founder dari Almaz Ayam Goreng. Ia menyebut bahwa Almas bukan sekadar tempat makan, tapi juga bagian dari gerakan nilai. “Brand fried chicken ini saham 5 persennya buat Palestina. Selain itu, Almaz buka loker bagi yang terdampak PHK karena boikot,” ungkapnya.
Banyak pengunjung Almas mengaku datang bukan hanya untuk makan, tetapi juga menunjukkan dukungan terhadap nilai-nilai yang mereka anggap penting. Hal ini menandakan bahwa pengalaman makan kini telah berevolusi menjadi ekspresi nilai, pilihan identitas, bahkan bentuk perlawanan simbolik.
Di sisi lain, brand global seperti McD menghadapi tantangan besar. Meskipun mereka memiliki keunggulan teknis dan pengakuan merek yang kuat, tetapi jika mereka diasosiasikan dengan sikap yang bertentangan dengan moral publik, maka akan sulit mempertahankan loyalitas konsumen.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perang dagang masa kini tidak hanya soal harga dan rasa, tetapi juga soal perang value. Masyarakat ingin merek yang tidak hanya enak dan nyaman, tetapi juga sejalan dengan nurani mereka.
Kini, pilihan konsumen bukan lagi sekadar soal “mana yang lebih enak”, tetapi juga “mana yang lebih benar”. Dan di tengah krisis kemanusiaan atau konflik Palestina, keputusan sederhana seperti memilih tempat makan bisa menjadi bentuk pernyataan sikap yang kuat.