Kisah Ibu Hajar yang berlari bolak-balik antara Shafa dan Marwah, dadanya penuh kecemasan demi seteguk air untuk Ismail kecilnya yang kehausan, bukan sekadar ritual haji. Ia adalah alegori hidup yang menyentuh sendi terdalam perjuangan manusia. Kita melihat seorang ibu yang menguras seluruh tenaga dan harapan, berlari ke sana kemari, memindai cakrawala gersang, mencari sumber kehidupan. Namun, keajaiban justru tidak muncul dari arah larinya yang penuh kesungguhan itu. Air Zamzam menyembur deras dari tempat yang paling tak terduga: di bawah kaki Nabi Ismail yang hanya bisa menangis kehausan, tepat di tempat Ibu Hajar meninggalkannya dengan cinta untuk mencari pertolongan.
Di sinilah pelajaran yang seringkali luput, namun begitu dahsyat: Usaha kita yang maksimal, bahkan yang menguras habis tenaga dan pikiran, terkadang tidak langsung membuahkan rezeki untuk diri kita sendiri, melainkan menjadi saluran berkat yang dititipkan Allah kepada anggota keluarga kita. Ibu Hajar berlari dengan segenap jiwa raga. Ikhtiarnya tak diragukan lagi, sebuah simbol kesungguhan. Namun, rezeki air kehidupan itu tidak ia minum terlebih dahulu dari usaha larinya sendiri; ia diberikan untuk Ismail, anak yang ia cintai, yang ia jaga, yang menjadi alasan ia berlari.
Lihatlah kehidupan kita. Betapa sering kita, bagai Ibu Hajar modern, “berlari” tak kenal lelah? Kita kejar karir, kita kumpulkan harta, kita raih gelar, kita bangun bisnis, dengan keyakinan bahwa hasil jerih payah itu akan memuaskan dahaga kita sendiri. Kita pikir kebahagiaan, keamanan, dan keberhasilan itu harus datang langsung dari arah yang kita tuju dengan keringat dan darah. Lalu, ketika hasil tak kunjung sesuai harapan di titik “Shafa” atau “Marwah” yang kita tuju, rasa kecewa dan frustrasi pun menyergap. Kita merasa usaha sia-sia.
Namun, kisah Ibu Hajar mengajarkan kita untuk memperluas pandangan. Boleh jadi, usaha maksimal kita yang tampak “tidak berbuah” bagi diri sendiri, sebenarnya adalah bibit yang ditanam untuk tumbuh menjadi pohon rindang yang teduh bagi anak, istri, orang tua, atau saudara kita. Seorang ayah yang bekerja banting tulang siang malam, mungkin tak melihat kekayaan berlimpah di rekeningnya sendiri, tetapi usahanya itu memastikan anaknya bisa sekolah tinggi, istrinya hidup layak, orang tuanya terawat. Seorang ibu yang mengorbankan karier cemerlang untuk merawat keluarga, mungkin tak mendapat pujian dunia, tetapi curahan cinta dan pengorbanannya adalah “Zamzam” yang menyuburkan kehidupan anak-anaknya, membentuk karakter dan masa depan mereka. Usaha keras orang tua itulah “lari-lari kecil” mereka; sementara rezeki pendidikan, kesehatan, dan kebahagiaan keluarga itulah “air” yang muncul di “kaki Ismail” mereka.

Ini bukan berarti kita berpangku tangan. “Lari-lari kecil” Ibu Hajar tetap wajib. Ikhtiar adalah kewajiban. Kesungguhan adalah keharusan. Tawakal bukan berarti pasif, melainkan aktif berusaha dengan sepenuh hati sambil menyerahkan hasil akhir sepenuhnya kepada Kehendak Ilahi. Kita harus berlari antara “Shafa” dan “Marwah” kehidupan kita – mengejar ilmu, bekerja keras, berjuang demi kebaikan. Namun, kita juga harus belajar melepaskan kendali atas bagaimana dan untuk siapa rezeki itu akhirnya dimanifestasikan.
Kisah Ibu Hajar dan Ismail adalah penghiburan sekaligus pencerahan. Ia menenangkan jiwa yang lelah karena usaha yang belum berbuah dengan harapan: “Bersabarlah, mungkin rezekimu sedang dititipkan pada orang yang kau cintai.” Ia juga membuka mata: Lihatlah di sekitar, di kaki “Ismail”-mu. Mungkin disanalah Zamzam kehidupanmu mengalir – dalam senyuman anak yang terdidik, dalam rasa aman istri yang tercukupi, dalam doa orang tua yang terawat. Usaha Hajar tak sia-sia, ia menjadi jalan bagi mukjizat terbesar bagi anaknya. Demikian pula, usaha maksimal kita, diiringi niat ikhlas dan tawakal, takkan pernah sia-sia. Rezeki itu pasti datang, hanya bentuk, waktu, dan penerima utamanya yang menjadi rahasia Ilahi. Tugas kita hanya satu: terus berlari dengan sungguh-sungguh seperti Ibu Hajar, sambil merawat “Ismail-Ismail” dalam hidup kita dengan penuh cinta, dan percaya bahwa Allah Maha Tahu di mana dan kepada siapa sebaik-baiknya rezeki itu dititipkan. Air Zamzam itu nyata, meski tak selalu muncul di ujung lari kita sendiri.
Pelajaran berikutnya adalah tentang tempat di mana rezeki itu tumbuh. Seringkali kita sibuk “berlari” di panggung luar yang ramai – kantor, proyek, pertemuan penting – mengira di sanalah sumber segala jawaban. Padahal, seperti Hajar yang meninggalkan Ismail dengan penjagaan penuh cinta, rezeki yang hakiki seringkali justru bersemi di tempat yang kita jaga dengan kelembutan dan pengorbanan: keluarga. Mungkin bukan bonus besar atau promosi jabatan yang menjadi rezeki utama, melainkan kesehatan anak, kebahagiaan pasangan, atau ketenangan orang tua yang kita rawat, yang bersumber dari jerih payah kita. Kesuksesan sejati mungkin tidak berteriak di panggung dunia, tetapi berbisik hangat di ruang keluarga yang penuh syukur.