Ada sesuatu yang berbeda dari aksi damai yang digelar oleh Cipayung Plus Pasuruan Raya di halaman DPRD Kabupaten Pasuruan. Bukan sekadar orasi lantang yang sering kali kita dengar di jalan-jalan, melainkan sebuah gerakan yang lahir dari kegelisahan kolektif. GMNI, IMM, HMI, dan PMII bersatu, seolah mengingatkan bahwa meski berbeda ideologi dan warna bendera organisasi, ada hal-hal besar yang lebih penting: suara rakyat yang terpinggirkan.
Dandy Aulia Rachman, Ketua GMNI Pasuruan yang juga menjadi korlap aksi, menegaskan bahwa gerakan ini murni datang dari mahasiswa. Tidak ada sponsor elit, tidak ada arahan dari kepentingan politik. Pernyataannya sederhana tapi tegas: “Kami tidak ingin kerusuhan. Kami hanya ingin didengar.” Kalimat ini terasa seperti tamparan sekaligus doa. Tamparan bagi pemimpin yang kerap tuli terhadap keresahan masyarakat, doa bagi perjuangan mahasiswa agar tidak ternodai oleh stigma anarkis.
Yang menarik, aksi ini tidak berlangsung dalam ruang hampa. Kehadiran bupati, wakil bupati, ketua DPRD, Kapolres, Kajari, hingga Dandim menjadi bukti bahwa suara mahasiswa kali ini mendapat ruang untuk disimak langsung. Tidak semua gerakan mahasiswa memiliki kesempatan seperti ini—berdiri, menatap mata para pemegang kuasa, dan menyampaikan keresahan tanpa jarak yang terlalu lebar.
Tuntutan yang dibawa pun tidak bisa dibilang sepele. Dari isu nasional seperti pelanggaran HAM dan RUU Perampasan Aset, hingga persoalan lokal yang sangat membumi: kekeringan, sampah di pesisir, narkoba, tambang ilegal, hingga ketidakadilan yang menimpa kaum miskin kota. Inilah wajah mahasiswa: berpikir global, tapi tetap menjejak di tanah tempat mereka hidup.



Setiap ketua organisasi diberi ruang untuk menyampaikan isu yang mereka kawal. Ada rasa bahwa perbedaan bukanlah sekat, melainkan mozaik yang memperkaya. Dan ketika di ujung aksi para pemimpin daerah menandatangani kesepakatan bersama mahasiswa, ada secercah harapan bahwa suara itu tidak akan menguap begitu saja.
Namun, sejarah juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu cepat puas. Janji politik sering kali berakhir sebagai arsip kertas, tersimpan rapi tanpa pernah diwujudkan. Itulah sebabnya Cipayung Plus menegaskan: bila tuntutan tidak ditindaklanjuti, mereka siap turun lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Sebuah ancaman, tapi juga bentuk tanggung jawab moral untuk tidak berhenti di langkah pertama.
Melihat aksi ini, saya jadi teringat pada wajah gerakan mahasiswa yang sering direduksi: dicap ribut, dituduh hanya mencari panggung, bahkan dianggap sekadar pengganggu lalu lintas. Padahal, di balik spanduk dan pengeras suara, ada idealisme yang terus hidup. Dan di Pasuruan, kita melihatnya tumbuh, menuntut, sekaligus mengajukan solusi.
Cipayung Plus Pasuruan Raya bukan sekadar aliansi mahasiswa. Mereka adalah pengingat bahwa suara rakyat tidak boleh sunyi. Karena kalau mahasiswa berhenti bersuara, siapa lagi yang akan menagih janji pada mereka yang berkuasa?