Pada Sabtu, 10 Agustus 2025, Pasuruan kedatangan sosok istimewa: Kiai Cepu, nama yang sudah tidak asing lagi bagi para aktivis seni dan budaya Muhammadiyah. Nama aslinya adalah Kiai Kusen. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang filsuf, budayawan, dan penulis, tetapi juga sebagai seorang pemikir yang secara aktif mengintegrasikan agama, seni, dan budaya dalam satu perspektif yang harmonis.
Saat ini, beliau menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah dan juga sebagai Ketua Komite Sastra di Dewan Kesenian Tangerang Selatan. Kepekaannya terhadap isu-isu kontemporer, terutama di zaman digital ini, membuat kehadirannya selalu dinantikan di berbagai forum diskusi.
Dalam kunjungannya ke Pasuruan, Kiai Cepu ingin menemui rekannya, Pak Badri, yang merupakan seorang seniman Muhammadiyah dari Kabupaten Pasuruan. Selama perjalanan ini, kami beruntung bisa bertemu dan bercengkerama dengannya di sebuah warung kopi sederhana yang terletak dekat GOR Kota Pasuruan.
Kami mendapatkan banyak wawasan serta nasihat berharga dari beliau mengenai Islam, seni, filsafat, dan juga tentang esensi Muhammadiyah yang mungkin belum pernah kami dengar sebelumnya.
Salah satu hal yang menarik dari perjalanan intelektual Kiai Cepu adalah bahwa ia adalah satu-satunya kader Muhammadiyah yang mengajar di Institut Agama Buddha, bernama Institut Nalanda, di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan calon-calon biksu. Sejak tahun 2018, beliau dipercaya untuk mengajar mata kuliah Pluralisme Agama di tingkat S1 dan S2.
Bagi Kiai Cepu, pendidikan di tengah masyarakat beragam keyakinan bukanlah sebuah ancaman terhadap identitas, melainkan peluang untuk menyebarkan nilai-nilai Islam serta ajaran Muhammadiyah secara inklusif. Ia membagikan pengetahuan tentang Islam hingga esensi ajaran Muhammadiyah, yang disambut baik oleh para mahasiswa. Saking besarnya antusiasme mereka, universitas pun memintanya untuk menjadi dosen tetap.
“Segala sesuatu tergantung cara komunikasinya, bukan semata materinya,” ujar Kiai Cepu.
Prinsip ini terbukti efektif, di mana para mahasiswa Buddha memberikan penilaian tinggi terhadap pengajarannya dengan angka di atas 8, serta senantiasa menunggu pertemuan selanjutnya. Mereka tidak merasa terancam dengan kemusliman Kiai Cepu.
Bahkan pada bulan Ramadan lalu, Kiai Cepu memaparkan makna puasa dalam Islam di hadapan komunitas Buddha, sementara mereka membalas dengan penjelasan tentang konsep puasa dalam ajaran mereka. Pertukaran pemahaman ini bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga menumbuhkan rasa saling hormat.
Kiai Cepu mengaitkan pengalamannya dengan 10 Sifat Muhammadiyah dalam Kepribadian Muhammadiyah, khususnya sifat ke-2 dan ke-3: Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah serta lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam. Menurutnya, apa yang ia lakukan sejalan dengan metode dakwah Kiai Ahmad Dahlan yang tetap relevan hingga hari ini.
Kehadiran Kiai Cepu dalam pertemuan antaragama menunjukkan sikap terbuka tidak berarti mengorbankan identitas diri. Sebenarnya, melalui pendekatan yang ramah, dialog dapat menjadi alat dakwah yang lebih ampuh serta menciptakan hubungan kemanusiaan yang lebih kuat.
Kiai Cepu juga menunjukkan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi dakwah yang juga hadir di ruang-ruang dialog budaya dan lintas agama. Dan di sana, dakwah justru menemukan bentuknya yang paling halus dan menyentuh.