Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.S.I menerima penghargaan sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2025 dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta.
Penunjukan Haedar sebagai Tokoh Perbukuan Islam merupakan hasil dari komitmennya yang tiada henti dalam bidang literasi. Ia telah menghasilkan ratusan artikel yang dipublikasikan di berbagai media, baik nasional maupun lokal, termasuk lebih dari 500 karya di Rubrik Bingkai pada Majalah Suara Muhammadiyah.
Haedar dianggap memiliki kemampuan untuk mempertahankan semangat literasi dalam mendukung dakwah dan upaya pembaruan dalam Muhammadiyah. Pendekatan yang digunakannya bersifat reflektif dan humanistik, menjadikan literasi sebagai lebih dari sekadar alat untuk berdakwah, melainkan sebagai sarana untuk membangun peradaban. Ia menyatakan bahwa literasi tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mengolah informasi agar dapat hidup dengan lebih cerdas dan berbudaya.
Literasi telah menjadi dasar yang sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat literasi rendah akan rentan terhadap pengaruh dari luar maupun perpecahan di dalamnya. “Negara manapun tidak akan maju jika warganya tidak punya budaya literasi. Kebudayaan hidup karena literasi. Peradaban juga dicapai dengan budaya literasi. Bangsa nir-literasi mudah diperdaya pihak lain, hatta oleh sesama komponen bangsa sendiri,” ungkap Haedar.
Haedar juga memberikan pesan khusus kepada generasi muda agar menjadikan membaca dan menulis sebagai bagian dari gaya hidup. “Bukan piawai main game dan rebahan melewati batas. Janganlah sia-siakan sedetik waktu berlalu tanpa kesadaran literasi,” tegasnya.
Tradisi literasi dalam Muhammadiyah sendiri bukanlah hal baru. Sejak era KH Ahmad Dahlan hingga Buya Hamka dan Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah dikenal melahirkan para intelektual yang gemar membaca dan menulis. Haedar Nashir kini melanjutkan warisan tersebut dengan penuh konsistensi. “Tiada detak jantung tanpa detak literasi,” menegaskan, kembali pentingnya menjadikan literasi sebagai nadi kehidupan.