Siapa yang menduga, Ketua Umum PP Muhammadiyah, almarhum Kiai Abdur Rozaq Fachruddin (1916-1995), yang lebih dikenal dengan sebutan Pak AR, pernah dua kali memimpin jamaah Nahdlatul Ulama (NU) dalam melaksanakan ibadah tarawih 11 rakaat, mengikuti tuntunan Muhammadiyah.
Pengalaman pertama terjadi di Ponorogo. Pada saat itu, Pak AR seharusnya memberikan ceramah di Masjid At-Taqwa yang dikelola oleh Muhammadiyah, tetapi beliau secara tidak sengaja masuk ke masjid lain yang juga bernama At-Taqwa milik NU yang sedang melangsungkan pengajian.
Di tempat tersebut, Pak AR disambut dengan penuh rasa hormat oleh pengurus masjid. Ketika jamaah Muhammadiyah tiba menyusul, beliau meminta untuk ikut menyelesaikan acara di masjid NU tersebut. Pengurus masjid bahkan meminta Pak AR untuk menjadi imam dalam shalat tarawih, dan beliau pun menerima permintaan itu. Sebelum memulai, Pak AR bertanya kepada jamaah tentang jumlah rakaat yang akan dilakukan.
Mereka pun sepakat untuk melaksanakan 23 rakaat yang biasa dilakukan oleh NU. Namun, Pak AR memimpin shalat tarawih dengan tumakninah, menikmati setiap rukun serta membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil. Setelah mencapai 8 rakaat, waktu yang dihabiskan ternyata lebih lama dibandingkan dengan tarawih 23 rakaat yang biasa dilakukan oleh NU, dan Pak AR pun menoleh kepada jamaah untuk untuk bertanya.
“Dos pundi bapak-bapak, diterusaken taraweh nopo langsung witir?” (Bagaimana bapak-bapak, diteruskan tarawih atau langsung witir?)
Sontak semua jamaah NU itu serempak menjawab, “Salat witir mawon.” (Salat witir saja). Jawab jamaah sambil tertawa masygul. Kisah pertama ini dipopulerkan ulang oleh aktivis Muhammadiyah Nurbani Yusuf pada tahun 2019.
Kisah kedua adalah cerita terkenal yang banyak beredar di internet. Cerita ini terjadi ketika Pak AR berkunjung ke sahabatnya, Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid di Pondok Pesantren Tebuireng. Pada kesempatan tersebut, Pak AR kembali diberi amanah untuk menyampaikan khutbah tarawih serta menjadi imam salat tarawih. Permintaan tersebut datang langsung dari Gus Dur. Dengan penuh semangat, Pak AR pun meminta izin kepada jamaah seperti biasa sebelum mengambil posisi.
“Ini mau pakai tarawih NU atau Muhammadiyah?” tanya Pak AR kepada jamaah.
“enNUUUUUUUU…..,” jawab ratusan jamaah kompak seolah-olah ingin menampilkan jati diri ke-NU-annya di depan tokoh Muhammadiyah.
Seperti biasa, Pak AR dengan penuh ketenangan mengimami ratusan jamaah NU dalam salat yang tumaninah, pelan, serta diiringi pembacaan surat al-Quran yang cukup panjang. Dengan gaya yang mirip Muhammadiyah, lamanya salat tarawih 8 rakaat pun melebihi waktu yang biasanya dilakukan NU. Tentunya, hal ini membuat ratusan jamaah NU merasa cemas. Setelah mengucapkan salam di rakaat kedelapan, Pak AR berhenti sejenak dan menghadap ke arah jamaah salat, lalu ia mengulangi pertanyaannya kepada mereka.
“Ini mau dilanjutkan tarawihnya cara NU yang 23 atau Muhammadiyah yang 11 rakaat?” kata Pak AR terkekeh.
Sama dengan kasus pertama, para jamaah yang gelisah itu otomatis tertawa dan menjawab,
“Tarawih Muhammadiyah saja..,” sahut riuh dengan tawa bahagia sekaligus masygul. Lantas Pak AR memimpin salat witir tiga rakaat.
Selesai salat, Gus Dur bangkit dan berkata kepada para jamaah, “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU di kandang NU di-Muhammadiyah-kan secara massal oleh satu orang Muhammadiyah saja,” kata Gus Dur.