Setiap musim haji, jutaan umat Muslim di seluruh dunia memadati Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Di antara mereka, sebagian jemaah dari Indonesia memilih jalur haji furoda, program haji non-kuota yang menggunakan visa mujamalah (undangan) dari Pemerintah Arab Saudi. Dengan biaya yang bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dari haji reguler, banyak calon jemaah beranggapan bahwa jalur ini adalah solusi instan untuk menghindari antrean panjang. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu seindah brosur promosi.

Haji furoda seringkali dipasarkan dengan narasi “langsung berangkat, tanpa antrean.” Tapi sayangnya, banyak kasus menunjukkan bahwa pembayaran mahal tidak otomatis menjamin keberangkatan. Pada musim haji 2025, ribuan calon jemaah haji furoda asal Indonesia dipastikan gagal berangkat ke Tanah Suci karena Pemerintah Arab Saudi tidak menerbitkan visa haji furoda tahun ini . Sebagai contoh, sebanyak 60 calon jemaah haji furoda dari Surabaya belum pasti keberangkatannya karena visa belum terbit.
Permasalahannya bukan semata pada niat ibadah para jemaah, tapi pada lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap penyelenggara haji furoda. Karena tidak melalui sistem kuota resmi Kementerian Agama RI, jemaah furoda kerap luput dari perlindungan hukum dan pendampingan negara. Banyak dari mereka akhirnya menjadi korban “calo visa” atau travel nakal yang lebih mementingkan bisnis daripada tanggung jawab spiritual dan kemanusiaan. Kerugian yang dialami penyelenggara perjalanan haji furoda akibat kegagalan ini bisa mencapai Rp 300 juta per orang.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara hasrat beribadah dan realitas penyelenggaraan. Masyarakat kita begitu bersemangat untuk berhaji, hingga kadang tergoda oleh iming-iming jalan pintas yang tidak terjamin. Patut diingat, dalam tradisi spiritual haji, “Allah Tidak Mengundang Hambanya yang Mampu, Tapi Allah Memampukan Hamba-Nya yang Dia Undang”. Padahal, ibadah haji sejatinya bukan hanya tentang “sampai di Mekkah,” tapi juga tentang proses, kesiapan lahir-batin, dan legalitas yang sah. Mencari shortcut melalui haji furoda yang berisiko justru bertentangan dengan hakikat undangan Ilahi ini.
Pemerintah perlu memperkuat edukasi dan regulasi soal jalur haji non-kuota ini. Sementara masyarakat pun harus lebih kritis, tidak mudah tergiur oleh janji manis biro perjalanan. Haji bukan sekadar ibadah ritual, tapi juga pengelolaan sistem yang menuntut kejujuran, ketertiban, dan tanggung jawab. Jika tidak, haji furoda bisa jadi hanya tiket mahal menuju kekecewaan, bukan jalan menuju panggilan suci.