Ahad, 6 Juli 2025, Kajian Ahad Pagi Oleh Drs. K.H. Baidowi, M.Pd.I, Alhamdulillah, di tengah derasnya arus era digital ini, semangat kita untuk menghidupkan majelis ilmu tetap menyala. Salah satu peringatan mendalam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang nilai waktu dan keselamatan manusia termaktub dalam Surat Al-Asr:
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
(Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran).
Ayat agung ini diawali dengan sumpah Allah menggunakan waktu (‘Asr), menegaskan betapa mahalnya nikmat ini. Waktu terus berlari tanpa henti, tak pernah terulang. Setiap detik yang lewat adalah kehidupan yang tak tergantikan. Karakteristiknya yang cepat berlalu menuntut setiap muslim khususnya di era penuh distraksi ini untuk memanfaatkannya dengan hal positif dan produktif. Tanpa manajemen waktu, kita terjerumus dalam kemalasan, kesia-siaan, dan menjadi golongan الْخَاسِرِينَ (orang-orang yang merugi).
Iman dalam Surat Al-Asr bukan sekadar pengakuan lisan. Ia adalah iman berintegritas: keyakinan hati yang kokoh kepada Allah, diwujudkan dalam amal shalih nyata dan kesungguhan menjauhi larangan-Nya. Namun, keselamatan itu tak bersifat individual. Surah ini menekankan syarat keempat: saling menasihati dalam kebenaran (التَّوَاصُ بِالْحَقِّ) dan dalam kesabaran (التَّوَاصُ بِالصَّبْرِ). Majelis ilmu fisik maupun digital adalah bentuk konkret التَّوَاصُ ini, tempat kita saling mengingatkan untuk teguh di jalan Allah dan tabah menghadapi ujian.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: Allah bersumpah dengan waktu bahwa semua manusia merugi, kecuali yang memenuhi empat kriteria:
- Iman sejati kepada seluruh perintah Allah.
- Amal shalih yang konsisten.
- Saling menasihati untuk menegakkan kebenaran (meliputi semua ketaatan).
- Saling menasihati untuk bersabar atas takdir, musibah, dan menjauhi maksiat.
Manajemen waktu dalam Islam adalah memaksimalkan karunia waktu untuk kesuksesan dunia-akhirat. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi perpaduan perencanaan cermat, disiplin tinggi, dan penentuan prioritas dalam beribadah, bekerja, bersosial, menuntut ilmu, dan beristirahat. Rasulullah ﷺ dan para sahabat adalah teladan terbaik. Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه pernah berkata:
“إِنِّي لَأَكْرَهُ أَنْ أَرَى الرَّجُلَ سَبْهَلَاً، لَا فِي عَمَلِ دُنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ آخِرَةٍ”
(Sungguh, aku benci melihat seseorang yang menganggur, tidak sibuk dengan urusan dunianya (yang halal) maupun akhiratnya).
Senada dengannya, Ibnu Mas’ud رضي الله عنه menegaskan:
“لَأَبْغَضَنَّ الرَّجُلَ فَارِغًا لَا فِي عَمَلِ دُنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ”
(Aku sangat membenci orang yang menganggur, tidak beramal untuk dunianya maupun akhiratnya).

Kesuksesan sejati mensyaratkan kesabaran dalam proses meraihnya. Ketika sukses datang, seorang muslim harus meningkatkan ketakwaan, menjaga hubungan dengan Allah (حُبْلٌ مِنَ اللهِ) dengan lebih khusyuk, sekaligus memperbaiki hubungan sesama manusia (حُبْلٌ مِنَ النَّاسِ) dengan keadilan dan kasih sayang.
Surat Al-Asr mengajarkan: jalan keluar dari kerugian adalah memadukan iman tulus, amal shalih konsisten, semangat saling menasihati, dan ketekunan sabar di atas pondasi manajemen waktu yang disiplin. Dengan ini, di gempita era digital, kita menjadi hamba yang tidak hanya terhindar dari kerugian, tetapi meraih kemenangan sejati: dunia dan akhirat.