Surabaya, 11 Oktober 2025 – Dalam sesi pengukuran reputasi yang dipimpin oleh Jamroji, M.Comms, seruan untuk membangun ekosistem digital Muhammadiyah yang lebih koheren menggema. Ia menegaskan bahwa persoalan utama yang kini dihadapi bukan hanya lemahnya sumber daya manusia (SDM) di daerah, tetapi juga kegagalan media internal dalam menjangkau publik eksternal. Padahal, sebagai organisasi dakwah pencerahan, Muhammadiyah seharusnya menjadi pelopor dalam pengelolaan media berbasis nilai dan strategi komunikasi modern.
Jamroji mengungkap ironi besar: di tengah era digital yang menuntut kreativitas dan kecepatan, Muhammadiyah justru tertinggal dalam integrasi media. Ia mencontohkan keberhasilan radio MTA (Muhammadiyah Telecommunication Association) yang mampu menjangkau masyarakat luas melalui program sederhana seperti setoran bacaan Al-Qur’an via radio. Menurutnya, kesuksesan ini harus menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk mengembangkan model dakwah yang kreatif dan berkelanjutan.
Untuk mengatasi keterbatasan SDM di tingkat daerah, Jamroji mengusulkan strategi sentralisasi konten baku. Ia menggambarkan bagaimana tim PWM dapat memproduksi video ceramah berdurasi dua menit, yang kemudian dapat dibagikan ke seluruh PDM atau PRM untuk disebarluaskan di media sosial. Dengan cara ini, kualitas dan pesan dakwah tetap terjaga, meskipun produksi dilakukan secara terpusat. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antar media Muhammadiyah dengan konsep Press Media Storytelling, di mana isu yang diangkat oleh satu media dapat diperpanjang dan diperkaya oleh media lain. “Isu awal yang diangkat oleh satu media boleh diperpanjang oleh media yang lainnya,” ujarnya.
Menurut Jamroji, sinergi ini dapat diwujudkan melalui pendekatan Coupling dan Transmedia Storytelling. Dalam Coupling, media-media persyarikatan seperti PWMU.co atau Maklumat bisa sepakat membahas tema yang sama dari berbagai sudut pandang—misalnya PWMU.co menulis breaking news, sementara media lain menyoroti aspek human interest atau feature-nya. Sedangkan melalui Transmedia Storytelling, satu narasi inti seperti kisah filantropi dapat dikembangkan dalam berbagai format—artikel panjang, video pendek, hingga unggahan di media sosial—sehingga setiap konten berdiri sendiri tetapi tetap saling menguatkan.
Namun, di balik strategi besar itu, Jamroji menyoroti masalah yang jauh lebih mengkhawatirkan: maraknya penyebaran hoaks di internal Muhammadiyah. Ia menilai fenomena ini sebagai darurat etika digital. “Jujur, di kalangan kita memprihatinkan. Dua-duanya anggota, bahkan posting hoaks, ketahuan bohong, cuma senyum saja,” ungkapnya. Ia menyesalkan hilangnya rasa bersalah dan budaya tabayyun dalam berinteraksi di ruang digital. Karena itu, ia menyerukan agar Muhammadiyah segera menyusun pedoman Etika Digital yang konkret, mencakup tiga poin utama: berhenti menyebar hoaks, menghormati hak cipta, dan berhati-hati dengan UU ITE agar tidak melanggar privasi orang lain.
Selain itu, Jamroji mengkritik fenomena “In-House Magazine Syndrome” di mana media internal PDM atau PWM hanya berisi laporan kegiatan internal tanpa keberanian menembus publik eksternal. Ia memuji PWM Jawa Timur yang telah memisahkan antara media kelembagaan dan PWMU.co, namun menantang agar media-media lain juga berani menentukan posisinya. “Sampai kapan PWMU itu hanya jadi media internal?” katanya dengan nada reflektif.
Sebagai penutup, Jamroji menegaskan bahwa dakwah Muhammadiyah harus lebih kontekstual dan berbasis data. Ia mengusulkan penggunaan media listening tools untuk mendeteksi isu-isu yang sedang hangat di masyarakat agar materi dakwah lebih relevan dengan kebutuhan audiens. “Banyak ceramah tidak didengarkan karena tidak relate,” ujarnya. Dengan memanfaatkan teknologi pemantauan isu dan memahami kebutuhan masyarakat lokal, Muhammadiyah dapat memastikan dakwahnya tetap relevan, progresif, dan mampu bersaing di era digital.
Editor: Marjoko