Surabaya, 11 Oktober 2025 – Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jamroji, M.Comms, menyoroti rendahnya kesadaran Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dalam memantau jejak dan reputasi digital mereka. Dalam sebuah forum komunikasi, Jamroji menegaskan bahwa aksi hebat tanpa publikasi dan pengaruh digital tidak akan diakui di era informasi saat ini.
Ia membuka sesi dengan kisah sukses perubahan Kampung Jodipan di Malang menjadi kampung warna-warni yang viral. Menurutnya, keberhasilan itu bukan hanya karena program fisik, tetapi karena kekuatan publikasi dan viralitas. “Kalau Bapak bisa merubah kampung kumuh nomor satu tapi tidak terpublikasikan, orang tidak akan tahu. Tidak bisa menimbulkan perubahan yang besar,” ujarnya. Pesan utamanya jelas: publikasi adalah jembatan antara aksi dan dampak.
Jamroji kemudian menggelar polling cepat di antara peserta, yang hasilnya menunjukkan hampir seluruh PDM belum pernah melakukan monitoring media, analisis sentimen, maupun survei kepuasan publik. “Artinya, hampir semua lembaga di level PDM belum sadar pentingnya reputasi digital,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa identitas organisasi kini tidak lagi dilihat dari perilaku nyata, melainkan dari representasi digital. “Kalau dulu siapa kita dilihat dari perilaku, sekarang siapa kita dilihat dari media sosial kita,” tambahnya. Reputasi digital, lanjut Jamroji, merupakan kombinasi dari apa yang dikatakan organisasi dan apa yang dikatakan publik tentangnya. Tantangannya adalah bagaimana agar aktivitas PDM memiliki nilai berita tinggi sehingga menarik untuk diliput media tanpa perlu dibayar.
Dalam paparannya, Jamroji juga membedakan secara tegas antara branding dan reputasi. Branding adalah citra yang dibangun dari dalam organisasi, sedangkan reputasi merupakan persepsi publik yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. “Kalau reputasinya bagus, itu karena orang lain yang bicara tentang kita,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa reputasi Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh perilaku individu anggotanya. Kesalahan kecil di media sosial dapat menjadi “dosa abadi” yang menempel selamanya di internet. “Sekali diunggah, sulit dihapus. Itu akan mempengaruhi kredibilitas seluruh Persyarikatan,” ujarnya.
Untuk mengukur reputasi digital secara komprehensif, Jamroji memperkenalkan lima dimensi utama: visibility, credibility, trust, engagement, dan sentiment. Dari kelima aspek tersebut, engagement menjadi yang paling kritis. Banyak pengelola media sosial PDM masih memperlakukan platform digital seperti papan pengumuman, bukan ruang dialog. “Media sosial itu interaktif. Kalau komentar tidak direspons, audiens tidak mau berinteraksi lagi,” katanya.
Sebagai solusi, Jamroji mendorong PDM untuk berinvestasi pada alat monitoring digital seperti Brand24. Dengan alat tersebut, organisasi bisa memantau isu, percakapan publik, dan tren sentimen secara real-time. Ia menegaskan bahwa strategi dakwah digital harus relevan dengan isu yang sedang ramai, bukan sekadar materi konvensional yang kurang kontekstual.
Di akhir sesi, Jamroji menyoroti ancaman serius dari teknologi kecerdasan buatan (AI) dan penyebaran hoaks. Ia menilai pentingnya menjaga Credibility Index, yakni rasio antara konten benar dan palsu, agar Muhammadiyah tetap dipercaya publik. “Di tengah banjir informasi palsu, kredibilitas menjadi fondasi utama eksistensi organisasi,” tutupnya.
Editor: Marjoko