Surabaya, 11 Oktober 2025 – Sebuah pernyataan mengejutkan datang dari Agus Wahyudi, Pemimpin Redaksi PWMU.co, dalam Pelatihan Manajemen Reputasi Digital yang digelar Sabtu (11/10/2025). Ia mengungkap kenyataan pahit bahwa media-media Persyarikatan Muhammadiyah di tingkat daerah sedang menghadapi krisis reputasi digital yang serius. “Realitanya, media kita di daerah banyak yang dikelola satu orang saja. Dia itu guru ngaji, penulis tafsir, pencari berita, penulis, sekaligus editor. Bagaimana bisa konsisten?” ujarnya, disambut tawa getir para peserta pelatihan.
Menurut Agus, masalah terbesar bukan pada teknologi, melainkan pada sumber daya manusia (SDM). Banyak media daerah yang kesulitan memproduksi berita secara rutin. “Ada media yang hanya menulis sepuluh berita dalam dua bulan,” katanya. Kondisi ini menciptakan kesenjangan besar antara media Muhammadiyah dengan kompetitornya. Sebagai perbandingan, Kompasiana, platform jurnalisme warga, mampu menelurkan hingga seribu konten per hari. Bagi Agus, kesenjangan ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan kemampuan mengelola reputasi digital yang masih tertinggal jauh.
Untuk mengubah keadaan itu, Agus memperkenalkan kerangka kerja PESO, singkatan dari Paid, Earned, Shared, dan Owned Media. Paid Media berarti promosi berbayar di platform eksternal, Earned Media mencakup liputan gratis dari pihak lain, Shared Media adalah pembagian konten secara sukarela oleh masyarakat, dan Owned Media mencakup kanal resmi milik lembaga seperti website dan akun media sosial. “Filosofinya sederhana: Konten adalah King, Media Sosial adalah Pong. Konten harus menginspirasi dan menyentuh hati, agar orang rela membagikannya tanpa disuruh,” tegasnya.
Untuk mengatasi krisis SDM, Agus menawarkan solusi cepat: menerapkan model User Generated Content (UGC) atau jurnalisme warga. Dengan model ini, anggota Muhammadiyah di seluruh daerah dapat langsung menulis dan mempublikasikan artikel mereka di website masing-masing. “Prosesnya bisa kurang dari 15 menit, tanpa perlu antre di meja editor,” jelasnya. Model seperti ini telah sukses diterapkan oleh platform besar seperti Kompasiana dan Kumparan. Selain mempercepat produksi, UGC juga memberi kontrol penuh kepada penulis untuk memperbaiki dan memperbarui tulisannya kapan saja. Keuntungan lainnya adalah peningkatan lalu lintas digital (traffic), karena setiap tulisan bisa disertai tautan balik (backlink) menuju website resmi daerah.
Agus juga menyoroti pentingnya mengubah sudut pandang berita agar lebih inspiratif. Menurutnya, media daerah harus berhenti menulis berita yang hanya menjawab “apa yang terjadi” dan mulai berfokus pada “apa yang menginspirasi.” “Daerah itu penuh kisah tokoh Muhammadiyah yang luar biasa, tapi kita anggap biasa. Padahal itu bisa jadi bahan konten yang viral dan bernilai,” ujarnya. Ia memberi contoh bagaimana sebuah berita bisa diubah menjadi lebih humanis: berita tentang kekalahan timnas misalnya, bisa diangkat dari sisi dua mahasiswa Muhammadiyah yang tampil di tim nasional. Atau, berita bantuan bencana bisa diubah menjadi kisah heroik “LazisMU Gerak Cepat, Salurkan 1.000 Kabel Logistik untuk Korban Erupsi.”
Dalam hal teknik penulisan, Agus menekankan dua hal penting: judul menggoda dan struktur piramida terbalik. Judul harus menarik, bukan sekadar menyebut nama kegiatan. “Hindari judul seperti ‘Kajian BBM’. Gunakan kata kuat, angka, atau emosi, misalnya ‘3 Langkah Jadi Penulis Digital Muhammadiyah yang Viral’,” sarannya. Sementara itu, struktur piramida terbalik berarti menempatkan informasi paling penting di paragraf pertama, lalu diikuti rincian, dan terakhir latar belakang. “Pembaca online itu tidak sabar. Tarik mereka dalam tiga detik pertama,” tambahnya.
Menutup paparannya, Agus menyerukan agar PWM Jatim dan seluruh PDM/PCM segera memulai inisiatif digital secara mandiri. Dengan dukungan pimpinan wilayah dan semangat gotong royong, strategi UGC diyakini mampu mengubah krisis menjadi peluang emas. “Kalau setiap daerah bisa menulis satu kisah inspiratif per hari, reputasi digital Persyarikatan akan terangkat tanpa perlu dana besar,” ujarnya optimistis. Kini, bola ada di tangan para pegiat media daerah. Apakah mereka siap menjadi bagian dari revolusi jurnalisme warga Muhammadiyah?
Editor: Marjoko