Sejak zaman dahulu, manusia terus berusaha mencari keseimbangan dalam hidup. Kita ingin dunia tanpa kelaparan, tanpa peperangan, tanpa penderitaan atau dunia yang disebut sebagai utopia. Namun, sejarah dan bahkan eksperimen ilmiah pernah menunjukkan bahwa surga di bumi mungkin justru membawa kehancuran. Salah satu contohnya adalah eksperimen Universe 25 yang dilakukan oleh ilmuwan perilaku Amerika, John B. Calhoun, pada akhir tahun 1960-an. Menariknya, gagasan ini memiliki kemiripan filosofis dengan ide Thanos dalam dunia fiksi Marvel berkeinginan untuk menyelamatkan kehidupan dengan cara mengatur populasi.
Namun, keduanya berangkat dari arah yang berlawanan. Eksperien universe 25 berbicara tentang kehancuran karena kelimpahan, sedangkan Thanos berbicara tentang kehancuran karena kekurangan. Dua ekstrem yang berbeda, tapi ujungnya sama yakni kehancuran peradaban.
Dalam eksperimen Universe 25, Calhoun menciptakan dunia ideal bagi tikus-tikus percobaannya. Semua kebutuhan mereka terpenuhi yaitu makanan berlimpah, suhu nyaman, tempat tinggal cukup, dan tidak ada pemangsa. Pada awalnya, kehidupan tampak sempurna. Tikus-tikus berkembang biak pesat, hidup tanpa ancaman. Namun terjadani anomali semakin populasi meningkat, perilaku mereka mulai berubah drastis.
Tikus jantan menjadi agresif, betina kehilangan naluri keibuan, dan struktur sosial tebagi dan akhirnya runtuh total. Mereka saling menyerang, melakukan kekerasan tanpa alasan, hingga akhirnya berhenti berkembang biak sama sekali. Populasi pun menurun, dan akhirnya punah, meski makanan masih melimpah. Fenomena ini oleh Calhoun disebut “behavioral sink”, yaitu kehancuran sosial yang terjadi bukan karena kekurangan, melainkan karena kehilangan tujuan hidup.
Paradoks ini menyadarkan kita bahwa kelimpahan mutlak ternyata bisa sama berbahayanya dengan kelaparan mutlak. Ketika segala kebutuhan terpenuhi tanpa perjuangan, makhluk hidup kehilangan makna eksistensial. Hidup hanya menjadi rutinitas biologis yaitu dengan makan, tidur, kawin serta tanpa arah spiritual atau sosial. Di sinilah surga berubah menjadi neraka, dan kenyamanan berubah menjadi kehampaan.
Di sisi lain, dalam semesta Marvel, Thanos mengusung ide yang tampak logis tapi kejam yaitu dengan menghapus separuh kehidupan di alam semesta demi mengembalikan keseimbangan sumber daya. Ia percaya bahwa populasi yang terus bertambah akan menghancurkan dunia, seperti yang terjadi di planet asalnya, Titan. Maka, setelah terkumpulnya infinity stone, maka Thanos dengan satu jentikan jari, ia meniadakan setengah makhluk hidup, agar separuh yang tersisa bisa hidup makmur.
Di permukaan, teori Thanos tampak rasional. Ia berbicara soal konservasi sumber daya dan keseimbangan ekologis. Namun, pendekatannya sepenuhnya mekanistik, memandang kehidupan sebagai angka, bukan sebagai nilai. Ia gagal memahami bahwa keseimbangan sejati tidak datang dari penghapusan, melainkan dari kesadaran, empati, dan tanggung jawab moral.
Jika kita bandingkan, Calhoun dan Thanos sebenarnya sama-sama berbicara tentang satu hal yakni populasi dan kehancuran akibat ketidakseimbangan. Dalam Universe 25, kehancuran terjadi karena terlalu banyak kenyamanan, sedangkan dalam teori Thanos, kehancuran didapati dengan banyaknya populasi dan kurangnya sumber daya, dengan itu Thanos mencegahnya dengan pengorbanan ekstrem, dengan menyeimbangkan semesta dengan menghapus separuh dari populasi.
Keduanya memberi kita cermin tentang kondisi manusia modern. Di banyak negara maju, kelimpahan materi justru menimbulkan krisis eksistensial. Tingkat kelahiran menurun, rasa empati melemah, orang kehilangan arah hidup karena segalanya terasa terlalu mudah. Di sisi lain, di belahan dunia yang masih berjuang untuk bertahan, manusia saling memperebutkan sumber daya yang kian menipis. Dunia saat ini berada di tengah-tengah antara Universe 25 dan rencana Thanos.
Maka, pelajaran moral dari keduanya adalah, manusia membutuhkan keseimbangan, tapi bukan keseimbangan yang dipaksakan atau yang tanpa makna. Utopia sejati bukanlah dunia di mana semua keinginan terpenuhi, melainkan dunia di mana setiap manusia tetap punya tujuan, perjuangan, dan rasa tanggung jawab terhadap sesamanya. Begitu pula, keseimbangan sejati bukan dicapai dengan membunuh separuh kehidupan, tetapi dengan mengatur keserakahan dan menumbuhkan kesadaran ekologis.
Thanos memandang dunia dari sisi matematika, jumlah dan kelangkaan. Sedangkan Calhoun memandang dari sisi perilaku, makna dan kepadatan sosial. Manusia sejati seharusnya belajar dari keduanya yaitu menyeimbangkan kebutuhan material dengan kebutuhan spiritual.
Pada akhirnya, baik dalam eksperimen ilmiah maupun dalam fiksi, pesan yang sama muncul yaitu ketika kehidupan kehilangan tujuan, maka baik kelimpahan maupun kekurangan akan membawa kehancuran. Sedangkan yang kita butuhkan bukanlah jentikan jari Thanos, atau surga tikus ala Universe 25, melainkan kemampuan untuk menemukan makna di tengah keterbatasan.
Karena tanpa makna, bahkan surga sekalipun bisa menjadi kuburan bagi peradaban.