Di tengah gempuran kemajuan zaman, kita menyaksikan ironi yang memilukan: pencapaian manusia dalam bidang teknologi dan ekonomi justru berbanding lurus dengan kerusakan ekologis yang semakin merajalela. Revolusi industri memang membawa kita dari nol ke puncak produksi dan konsumsi, tetapi kini kita menyongsong kembali “nol”, bukan dalam makna awal yang penuh harapan, melainkan jurang kehancuran akibat krisis lingkungan. Inilah yang kita sebut sebagai “Revolusi Ekologi from Zero to Zero.”
Namun, apakah ini akhir dari segalanya? Dalam perspektif Islam, justru di sinilah harapan bisa ditumbuhkan. Islam bukan hanya agama ibadah personal, melainkan juga sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan alam semesta secara menyeluruh dan penuh tanggung jawab.
Titik Nol Pertama: Alam yang Suci dan Seimbang
Ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi, Dia menjadikannya dalam keseimbangan. Dalam Surah Ar-Rahman ayat 7-9, Allah berfirman:
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan (mizan). Supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.”
Ayat ini bukan sekadar perintah moral, melainkan etika ekologis yang sangat tegas. Islam sejak awal mengajarkan bahwa alam bukanlah objek eksploitasi, melainkan amanah (trust) yang harus dijaga dan dilestarikan. Keseimbangan (mizan) adalah asas utama dari keberlangsungan hidup. Maka, titik nol pertama dari revolusi ekologis adalah momen ketika manusia masih hidup selaras dengan alam.
Kemajuan tanpa Kendali: Menuju Titik Nol Kedua
Sayangnya, modernitas yang dibanggakan justru membawa kita ke arah titik nol kedua: kehancuran ekologis. Perubahan iklim, polusi udara dan laut, deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga kelangkaan air bersih adalah gejala-gejala dari keserakahan manusia. Revolusi industri yang mendorong manusia untuk “menguasai alam” secara tidak langsung mengingkari peran manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 30:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi…”
Khalifah berarti pemimpin yang bertanggung jawab, bukan penjarah. Pemaknaan terhadap ayat ini harus dibumikan dalam konteks ekologi: bahwa manusia diberi mandat untuk menjaga bumi, bukan mengurasnya.
Kapitalisme Ekstraktif dan Ketimpangan Ekologis
Model pembangunan saat ini didorong oleh kapitalisme ekstraktif yaitu sistem ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran demi akumulasi keuntungan. Akibatnya, tidak hanya lingkungan yang rusak, tetapi juga tercipta ketimpangan sosial yang akut. Rakyat kecil di pedalaman kehilangan tanahnya karena tambang, warga pesisir kehilangan hasil laut karena pencemaran, dan penduduk kota tercekik polusi.
Dalam Islam, prinsip maslahah (kemanfaatan umum) dan la dharar wa la dhirar (tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain) menjadi dasar etis dalam segala kebijakan publik. Sayangnya, prinsip ini sering dikalahkan oleh logika keuntungan jangka pendek.
Ekoteologi: Membangun Kesadaran Spiritual Lingkungan
Dalam kerangka Islam Berkemajuan, kita perlu membangkitkan kembali nilai-nilai ekoteologi yaitu pemahaman spiritual tentang hubungan manusia dan alam. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau tidak pernah boros air, meskipun saat berwudhu di dekat sungai. Beliau melarang menebang pohon tanpa alasan, melindungi satwa, bahkan menjadikan tanah gersang sebagai wakaf pertanian.
Islam tidak memisahkan antara ibadah ritual dan tanggung jawab sosial-lingkungan. Menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah karena mencerminkan keimanan kepada Sang Pencipta. Dalam Surah Al-A’raf ayat 31, Allah memperingatkan:
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
Konsumerisme berlebihan adalah akar masalah lingkungan hari ini. Maka, mengubah gaya hidup konsumtif menjadi hidup yang sederhana, hemat, dan berkelanjutan adalah bagian dari spiritualitas Muslim masa kini.
Generasi Hijau: Jalan Keluar dari Krisis
Solusi tidak akan datang dari atas semata, tetapi dari bawah, dari perubahan paradigma dan gerakan kolektif umat. Generasi muda Muslim harus menjadi “generasi hijau” yang peduli lingkungan dan aktif dalam inisiatif ekologis. Gerakan menanam pohon, pengelolaan sampah berbasis komunitas, energi terbarukan, serta edukasi lingkungan harus menjadi bagian dari dakwah sosial.
Majelis-majelis taklim, pesantren, masjid, dan sekolah Islam harus menjadi pusat pembentukan kesadaran ekologis. Jika umat Islam sungguh-sungguh memahami bahwa bumi ini adalah titipan Allah, maka kita takkan mudah merusaknya.
“From Zero to Zero” bukan berarti siklus kehancuran yang tak terelakkan, tetapi bisa menjadi momen refleksi spiritual dan sosial. Islam memberi jalan keluar: kesalehan individual yang menyatu dengan kesalehan ekologis. Inilah saatnya kita tidak hanya bicara surga akhirat, tetapi juga menciptakan “surga dunia” dalam bentuk bumi yang lestari, adil, dan penuh rahmat.
Revolusi ekologi harus dimulai dari hati yang bersih, akal yang tercerahkan, dan iman yang bersemayam dalam laku hidup. Jika kita gagal, maka krisis ini bukan lagi soal lingkungan semata, tetapi kegagalan kita sebagai hamba dan khalifah. Mari kembali ke nol, bukan sebagai kehancuran, tetapi sebagai titik balik menuju peradaban hijau Islam berkemajuan. Wallahu a’lam.