Patriarki telah menjadi sistem sosial yang secara historis mengakar dalam banyak peradaban, termasuk dalam banyak komunitas Muslim. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, kontrol, dan otoritas, seringkali mengabaikan atau merendahkan peran perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan spiritual. Dalam konteks ini, Islam sering kali disalahpahami atau bahkan disalahgunakan untuk memperkuat struktur patriarkis tersebut. Padahal, nilai-nilai Islam yang murni dan berkemajuan justru mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan pemberdayaan.
Tulisan ini merupakan ikhtiar untuk menggali dan merefleksikan bagaimana Islam, terutama Islam Berkemajuan dapat menjadi narasi tandingan terhadap patriarki yang membelenggu perempuan. Dengan pendekatan kontekstual, historis, dan normatif, opini ini berusaha membangun kesadaran bahwa Islam bukan agama patriarkis, tetapi telah memberikan banyak ruang dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sejak lebih dari 14 abad silam.
Patriarki dalam Realitas Sosial

Di berbagai ruang kehidupan, perempuan masih menghadapi diskriminasi yang berlapis: di rumah, di tempat kerja, di ruang publik, dan bahkan dalam institusi keagamaan. Banyak yang menganggap kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga, tunduk pada suami, dan menjauhi ruang-ruang strategis pengambilan keputusan. Dalam kerangka patriarki, suara perempuan dianggap inferior, tubuhnya dikontrol, dan pilihan hidupnya dibatasi.
Lebih menyakitkan lagi, tak sedikit doktrin keagamaan yang dilintasi oleh tafsir yang bias gender. Hadis-hadis tertentu dijadikan dalih untuk menguatkan dominasi laki-laki atas perempuan, tanpa membedah konteks dan autentisitasnya secara kritis. Padahal, Islam yang dibawa Rasulullah SAW bukan agama yang menindas, melainkan membebaskan. Perempuan di masa jahiliyah diperlakukan sebagai properti, namun Islam datang dan menjunjung tinggi martabat mereka.
Perempuan dalam Al-Qur’an dan Sejarah Islam Awal
Al-Qur’an memberikan ruang luar biasa terhadap perempuan. Maryam, ibu Nabi Isa AS, mendapat satu surat khusus (Surat Maryam) yang menegaskan kesucian, kekuatan spiritual, dan keteladanannya. Ratu Saba’ dalam QS. An-Naml disebut sebagai pemimpin yang bijaksana. Khadijah RA adalah sosok pengusaha sukses dan pendukung utama dakwah Nabi. Aisyah RA menjadi rujukan ilmu hadis yang luar biasa.
Namun seiring waktu, sejarah mencatat munculnya dominasi penafsiran Islam oleh kaum laki-laki dalam konteks sosial yang patriarkis. Ini bukan kesalahan Islam, melainkan sejarah sosial umat Islam yang perlu dibaca ulang. Oleh karena itu, penting menghadirkan narasi Islam yang berkemajuan yakni Islam yang mampu bergerak dinamis, adaptif, dan berpihak pada keadilan sejati.
Islam Berkemajuan sebagai Tawaran Epistemologis
Islam Berkemajuan bukan sekadar jargon ideologis, melainkan paradigma pemikiran yang mengakar pada semangat pembaruan, keadaban, dan kesetaraan. Dalam frame ini, keislaman tidak dipahami sebagai pembakuan terhadap tradisi patriarkis, tetapi sebagai sumber nilai-nilai transformatif yang membebaskan.
Konsep Islam Berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah, misalnya, menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar dalam pembangunan umat. ‘Aisyiyah, sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah, menjadi pionir gerakan perempuan modern di Indonesia. Mereka tidak hanya mengurusi domestik, tapi juga aktif dalam pendidikan, kesehatan, sosial, dan bahkan advokasi kebijakan publik.
Dalam perspektif ini, Islam menjadi jalan untuk meretas ketimpangan, bukan memperkuatnya. Tafsir-tafsir Al-Qur’an dan hadis yang meminggirkan perempuan perlu dikaji ulang dengan metode tafsir kontekstual dan maqashid Syariah yakni memahami maksud dan tujuan hukum Islam yang membawa kemaslahatan, keadilan, dan rahmat.
Kritik terhadap Tafsir Patriarkis
Banyak ayat dan hadis yang disalahpahami akibat tafsir bias patriarki. Misalnya, ayat tentang “qawwam” dalam QS. An-Nisa:34 sering dimaknai sebagai dominasi laki-laki atas perempuan. Padahal, qawwam berarti penanggung jawab, bukan pemimpin absolut. Tanggung jawab ini bermakna spiritual, moral, dan sosial, bukan kekuasaan otoriter.
Perlu ada kesadaran kolektif di kalangan umat Islam untuk berani menafsirkan ulang teks-teks agama dengan pendekatan adil gender. Bukan menolak teks, tapi membaca ulang makna dan semangatnya. Karena jika Islam adalah rahmat bagi semesta alam, maka ia tidak boleh menjadi alat penindasan terhadap setengah umat manusia.
Pendidikan sebagai Jalan Transformasi
Perempuan yang terdidik adalah ancaman bagi patriarki. Maka tidak mengherankan jika banyak sistem sosial menekan akses perempuan terhadap pendidikan. Dalam Islam Berkemajuan, pendidikan adalah hak dan kewajiban semua, tanpa kecuali. Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah.”
Transformasi pemahaman tentang peran perempuan harus dimulai dari Pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal. Sekolah, keluarga, dan institusi keagamaan harus menjadi ruang aman dan merdeka untuk perempuan bertumbuh dan berdaya.
Melampaui Simbol, Menembus Struktur
Hari ini, banyak perempuan Muslim yang sudah menembus ruang publik. Ada yang menjadi akademisi, pejabat publik, ulama perempuan, dan pengusaha. Namun, simbol kehadiran perempuan belum tentu berarti keadilan struktural. Masih banyak struktur sosial, hukum, dan budaya yang menghalangi perempuan untuk setara dalam arti substantif.
Islam Berkemajuan mengajak umat untuk tidak berhenti pada simbol. Bukan soal berapa banyak perempuan duduk di kursi DPR, tetapi apakah suara mereka didengar? Apakah kebutuhan perempuan diperjuangkan? Apakah hak-hak mereka diakui penuh?
Kesetaraan dalam Keluarga dan Masyarakat
Keluarga adalah institusi pertama tempat patriarki beroperasi. Dalam banyak kasus, perempuan diajari sejak kecil untuk patuh, bukan berpikir kritis. Istri diajarkan melayani, bukan bermitra. Islam Berkemajuan mendorong relasi keluarga yang berlandaskan musyawarah, kasih sayang, dan tanggung jawab bersama.
Rasulullah adalah teladan terbaik dalam membangun relasi yang sehat dengan istrinya. Beliau membantu pekerjaan rumah, mendengarkan pendapat istri, dan menghormati mereka. Ini adalah fondasi rumah tangga yang adil dan berkemajuan.
Perempuan, Iman, dan Kepemimpinan
Keimanan tidak mengenal jenis kelamin. Surga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Perempuan dalam Islam punya hak penuh untuk menjadi pemimpin, bukan karena jenis kelaminnya, tetapi karena kapasitas, integritas, dan ilmunya.
Tokoh-tokoh seperti Nawal El Saadawi, Zainab al-Ghazali, hingga pemikir-pemikir perempuan Muslim kontemporer telah membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan adalah niscaya dan produktif. Mereka tidak melawan Islam, justru menghidupkan semangat Islam yang adil dan memanusiakan.
Menuju Generasi Emas yang Adil Gender
Islam Berkemajuan adalah keniscayaan sejarah dan kebutuhan umat. Peradaban Islam takkan bangkit jika perempuan, setengah dari umat, terus dibungkam dan dilemahkan. Keadilan gender bukan sekadar jargon, melainkan amanat tauhid. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling mendominasi, tapi saling melengkapi dan memuliakan. Perjuangan perempuan melawan patriarki masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan kerangka Islam Berkemajuan, harapan akan keadilan dan kesetaraan tetap menyala. Inilah jalan menuju dunia yang adil, seimbang, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam: rahmatan lil ‘alamin.
Baca Juga: