Di balik keindahan pulau-pulau timur Indonesia, tersembunyi kekuatan alam yang siap bangkit kapan saja. Gunung Lewotobi Laki-laki, yang terletak di Flores Timur, kembali menunjukkan aktivitas vulkaniknya pada pertengahan Juni 2025. Gunung ini merupakan bagian dari lingkaran api Pasifik yang dikenal sangat aktif secara geologis.
Letusannya bukan hanya mengancam wilayah sekitar, tetapi juga memicu kekhawatiran lebih luas, termasuk di Pulau Bali yang menjadi jantung pariwisata nasional. Saat masyarakat memantau peningkatan status waspada gunung tersebut, muncul pertanyaan besar: Bagaimana sektor pariwisata Indonesia—khususnya Bali—menjawab tantangan alam yang tak bisa diprediksi ini?
Penulis: Nashrul Mu’minin – Content Writer, Yogyakarta
Ancaman erupsi Lewotobi tidak hanya menyorot sisi geologis, tetapi juga memperlihatkan betapa rentannya ekonomi yang bergantung pada pariwisata. Bali, dengan bandara internasionalnya yang sibuk, jalur laut yang padat, dan ribuan pelaku wisata, sangat bergantung pada kestabilan lingkungan.
Ketika Gunung Agung meletus beberapa tahun lalu, bandara Ngurah Rai sempat lumpuh, menyebabkan kerugian ekonomi miliaran rupiah dan membuat ribuan wisatawan terlantar. Kini, bayang-bayang serupa kembali muncul saat Lewotobi menunjukkan tanda-tanda meningkatnya aktivitas yang bisa mengancam sisi ekonomi dari pariwisata di Bali.
Jika kita melihat dari perspektif yang lebih luas, khususnya dalam kacamata Islam dan gerakan Muhammadiyah, alam adalah amanah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi secara berlebihan. Dalam Surah Al-A’raf ayat 56, Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ۚ وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat ini menjadi panggilan etis bagi semua pihak—pemerintah, pelaku wisata, masyarakat adat, hingga organisasi sipil seperti Muhammadiyah—untuk bersama-sama menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam. Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam yang progresif dan responsif terhadap isu-isu sosial kemanusiaan, telah lama menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Melalui Majelis Lingkungan Hidup dan berbagai program green movement-nya, Muhammadiyah menegaskan bahwa pelestarian alam bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga bagian dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Peran Muhammadiyah melalui MDMC
Dalam konteks Bali dan potensi dampak dari erupsi Lewotobi, Muhammadiyah bisa mengambil peran sebagai penyambung antara sains dan nilai keislaman dalam merespons bencana. Melalui jaringan lembaga pendidikannya yang luas, Muhammadiyah dapat menanamkan literasi kebencanaan berbasis kearifan lokal dan keimanan kepada siswa dan masyarakat. Pendekatan ini akan membantu masyarakat memahami bahwa bencana bukan semata hukuman, tetapi juga peringatan untuk menata ulang cara hidup manusia dalam harmoni dengan semesta.
Lebih lanjut, langkah konkret perlu dilakukan. Pertama, pemerintah daerah Bali dan Flores perlu memperkuat sistem mitigasi bencana dengan mengintegrasikan pendekatan keagamaan. Muhammadiyah, melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), bisa menjadi mitra strategis dalam edukasi dan distribusi informasi yang akurat terkait potensi erupsi. Dalam banyak kasus bencana sebelumnya, MDMC telah menunjukkan kompetensinya dalam respons cepat, evakuasi, hingga rehabilitasi pascabencana dengan pendekatan humanis dan spiritual.
Kedua, pelaku pariwisata perlu mereformasi sistem bisnisnya dengan prinsip berkelanjutan (sustainable tourism). Tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga mengutamakan keamanan, edukasi bencana, dan penghormatan terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan. Muhammadiyah, dengan prinsip tauhid sosial-nya, dapat memberikan narasi baru bahwa wisata bukan hanya aktivitas konsumtif, tetapi juga sarana kontemplatif dan reflektif untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan melalui kekaguman terhadap alam ciptaan-Nya.
Ketiga, perlu ada pelibatan komunitas lokal dalam penyusunan rencana darurat, terutama di wilayah-wilayah rawan bencana seperti Flores Timur dan sekitarnya. Muhammadiyah dengan semangat gerakan akar rumput-nya memiliki rekam jejak yang kuat dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini bisa mencakup pelatihan siaga bencana, penguatan ekonomi lokal pascabencana, hingga penyediaan layanan kesehatan dan psikososial.
Dengan melihat eskalasi aktivitas Gunung Lewotobi dan kemungkinan dampaknya terhadap wilayah sekitar termasuk Bali, maka respons lintas sektor menjadi keniscayaan. Perpaduan antara ilmu pengetahuan, sistem tata kelola pariwisata yang bijak, dan nilai-nilai spiritual seperti yang diajarkan dalam Islam dan diamalkan oleh Muhammadiyah akan menjadi pondasi kokoh dalam menghadapi tantangan ini.
Akhirnya, penting bagi semua pihak untuk tidak hanya menunggu bencana, tetapi membangun kesadaran kolektif dan kesiapan yang matang. Bencana adalah bagian dari sunnatullah kehidupan, namun cara kita menyikapinya akan menentukan sejauh mana kita dapat bertahan dan bertransformasi menjadi bangsa yang kuat, tangguh, dan berkeadaban.
Semoga peringatan alam dari Gunung Lewotobi menjadi cermin reflektif bagi bangsa ini untuk memperkuat ketahanan ekologi dan spiritualnya. Dalam hal ini, Muhammadiyah hadir bukan hanya sebagai penyaksi sejarah, tetapi sebagai pelaku aktif perubahan menuju Indonesia yang selamat dunia akhirat.