Yogyakarta tidak pernah berhenti memukau sebagai kota yang hidup dalam dua zaman sekaligus. Di satu sisi, ia tetap setia pada gelar “Kota Budaya” dengan segala tradisi sastra yang melekat erat, dari tembang macapat hingga diskusi-diskusi sastra di sudut-sudut Taman Budaya.
Di sisi lain, Jogja justru menjadi salah satu pelopor dalam gerakan sastra digital di Indonesia, membuktikan bahwa tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Salah satu perkembangan paling menarik dalam beberapa tahun terakhir adalah munculnya proyek-proyek kolaborasi digital antara arsip sastra Yogyakarta dengan berbagai institusi luar negeri, yang mengubah cara kita memandang khazanah sastra tidak hanya sebagai warisan lokal, tetapi sebagai bagian dari percakapan global.
Bayangkan sebuah naskah puisi tangan dari penyair Jogja tahun 1970-an yang didigitalisasi, diberi metadata lengkap, dan kemudian terhubung dengan arsip puisi kontemporer di Berlin atau Tokyo melalui platform linked data. Inilah yang mulai terjadi belakangan ini. Beberapa lembaga seperti Rumah Budaya Tembi dan Komunitas Salihara telah menjalin kerja sama dengan institusi seperti British Library atau Leiden University Library untuk membangun arsip sastra digital yang saling terhubung.
Kolaborasi semacam ini bukan sekadar memindahkan dokumen dari bentuk fisik ke digital, tetapi menciptakan ekosistem baru di mana sastra Jogja bisa “berbicara” dengan sastra dari belahan dunia lain.
Namun, pertanyaannya adalah: apa sebenarnya yang bisa diperoleh dari kolaborasi semacam ini? Pertama, tentu saja soal akses. Seorang peneliti sastra Jawa di Meksiko sekarang bisa mengakses manuskrip digital dari Yogyakarta tanpa harus terbang ke Indonesia. Kedua, dan ini yang lebih menarik, kolaborasi semacam ini memungkinkan pembacaan baru terhadap sastra kita sendiri.
Ketika puisi-puisi W.S. Rendra atau Linus Suryadi AG dianalisis berdampingan dengan puisi dari Amerika Latin atau Afrika dalam sebuah platform digital, kita bisa melihat pola-pola yang sebelumnya tak terlihat—entah itu tema yang serupa, gaya metafora yang mirip, atau respons terhadap modernisasi yang paralel.
Tantangannya tidak kecil. Salah satu masalah utama adalah standarisasi metadata. Bagaimana memastikan bahwa sebuah puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa bisa terhubung dengan baik dengan puisi berbahasa Spanyol atau Prancis dalam sebuah sistem arsip global? Di sinilah peran para ahli digital humanities dan filologi digital menjadi krusial. Selain itu, ada juga persoalan hak cipta dan etika pengarsipan. Tidak semua karya bisa begitu saja didigitalisasi dan dibagikan ke ranah global tanpa mempertimbangkan hak moral dan ekonomi para penulis atau ahli warisnya.
Lalu, bagaimana dengan peran komunitas sastra lokal dalam proyek-proyek semacam ini? Di sinilah letak keunikan Yogyakarta. Berbeda dengan proyek digitalisasi yang sering kali didominasi oleh lembaga-lembaga besar, di Jogja justru komunitas-komunitas kecil seperti Klub Sastra Sewon atau Komunitas Tikar Pandan yang aktif terlibat dalam pengarsipan digital. Mereka tidak hanya menyumbangkan naskah, tetapi juga pengetahuan kontekstual yang membuat metadata tidak sekadar data teknis, tetapi juga mengandung “jiwa” dari karya tersebut.
Pada akhirnya, kolaborasi digital antarnegara dalam pengarsipan sastra ini bukanlah sekadar proyek teknis, melainkan sebuah upaya untuk menempatkan sastra Jogja—dan sastra Indonesia pada umumnya—dalam peta percakapan sastra dunia. Ini adalah cara baru untuk merayakan keragaman sastra kita sekaligus menjawab tantangan zaman: bagaimana merawat ingatan kolektif tanpa terjebak dalam nostalgia, dan bagaimana menjadi lokal tanpa menjadi terisolasi
.
Yang menarik, proses ini justru mengembalikan sastra pada hakikatnya yang paling purba: sebagai medium yang menghubungkan orang-orang melintasi batas ruang dan waktu. Bedanya, jika dulu seorang pujangga Jawa menulis dalam lembaran lontar yang mungkin hanya dibaca oleh segelintir orang, kini karya-karya itu bisa sampai ke pelosok dunia dalam hitungan detik. Di tengah arus globalisasi yang sering kali menggerus identitas lokal, justru teknologi digital memberi kita cara untuk merawat lokalitas sekaligus membukanya pada dunia.
Mungkin inilah paradoks yang indah dari sastra digital di Jogja: semakin kita mendigitalisasi, semakin kita menyadari nilai yang tak tergantikan dari secarik kertas usang berisi puisi tulisan tangan, atau obrolan sastra di warung kopi yang tak terekam dalam metadata apa pun. Kolaborasi digital bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah awal—bahwa ada banyak lagi lapisan sastra yang menunggu untuk ditemukan, dihubungkan, dan dibicarakan, baik secara digital maupun di teras rumah-rumah sastra Jogja yang tetap hidup seperti biasa.