Dulu, ketika saya masih menjadi anak-anak, saya mengenal istilah “anak durhaka” sebagai sebuah label yang sangat menakutkan. Di lingkungan tempat saya tumbuh, kisah-kisah tentang anak yang melawan orang tua, tidak patuh, atau mengabaikan nasihat keluarga selalu diceritakan sebagai contoh buruk yang harus dijauhi. Orang tua, guru, bahkan tokoh masyarakat sering menekankan bahwa tidak ada perbuatan yang lebih tabu atau tercela selain menyakiti hati orang tua. Sebagai seorang anak, gambaran itu begitu melekat, seolah satu-satunya kemungkinan dalam hubungan keluarga adalah kesalahan yang dilakukan anak kepada orang tua.
Namun, waktu berjalan dan hidup membawa saya pada sudut pandang yang berbeda. Sekarang, ketika saya sudah menjadi seorang ayah dari tiga anak, saya mulai melihat fenomena yang jarang dibicarakan di masa kecil dulu, orang tua yang durhaka kepada anak. Istilah ini memang jarang digunakan, bahkan terasa asing, tetapi kenyataannya saya melihat sendiri bagaimana ada orang tua yang gagal menjalankan peran dasarnya, melindungi, membimbing, mencintai, dan menghormati anak sebagai manusia yang utuh.
Menjadi orang tua mengubah cara saya memahami banyak hal. Saya kini sadar bahwa hubungan antara orang tua dan anak bukanlah hubungan satu arah. Ia bukan hierarki yang hanya menuntut bakti dari anak, tetapi mengabaikan kewajiban moral orang tua. Anak memang wajib menghormati orang tua, tetapi orang tua juga punya kewajiban untuk tidak merusak jiwa anaknya. Ada orang tua yang menggunakan kekuasaan, usia, atau status sebagai tameng untuk melakukan kekerasan verbal maupun fisik, memupuk trauma, atau memaksakan mimpi yang bukan milik anaknya. Ironisnya, perilaku seperti itu jarang diberi label “durhaka”, padahal dari sudut pandang nilai kemanusiaan, dampaknya bisa jauh lebih besar.
Saya sering merenungkan, mengapa dulu kita hanya mengenal konsep anak durhaka, tetapi tidak orang tua durhaka? Mungkin karena budaya kita sangat menjunjung tinggi figur orang tua, sampai-sampai mereka sering dianggap tidak mungkin salah. Orang tua ditempatkan pada posisi paling benar dalam keluarga, dan kritik terhadap perilaku mereka dianggap tabu. Padahal, orang tua tetap manusia yang tidak luput dari kekeliruan, luka batin, atau cara didik yang keliru. Ketika kita menutup ruang evaluasi, kesalahan itu bisa diwariskan turun-temurun tanpa pernah benar-benar diperbaiki.
Sekarang ketika saya mengasuh tiga anak, saya mulai memahami betapa kompleksnya peran menjadi orang tua. Tidak mudah menjaga kesabaran, tidak mudah menahan emosi, tidak mudah selalu memberi contoh baik. Ada hari-hari ketika lelah membuat saya lebih cepat marah, atau kekhawatiran membuat saya terlalu mengontrol keputusan anak. Tetapi justru dalam momen-momen sulit itulah saya semakin menyadari betapa pentingnya introspeksi. Saya belajar bahwa menjadi orang tua bukan soal menuntut penghormatan, tetapi tentang layak dihormati. Bukan soal memaksa anak menjadi seperti yang kita inginkan, tetapi membimbing mereka menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Saya melihat kasus orang tua durhaka muncul ketika orang tua lupa bahwa anak adalah individu dengan hak, perasaan, dan martabat. Ketika mereka merasa berhak mengatur semuanya hanya karena “aku yang melahirkanmu” atau “aku yang membesarkanmu.” Padahal kasih sayang yang sejati tidak merampas kebebasan, tetapi mengarahkan dengan empati. Ada orang tua yang mengabaikan perasaan anaknya, meremehkan mimpi mereka, atau menganggap pencapaian anak tidak berarti jika tidak sesuai standar pribadi. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai dalih pendidikan, meski sebenarnya itu adalah pelampiasan kemarahan yang dibungkus dengan alasan moral.
Sebagai seorang ayah, saya ingin membesarkan anak-anak tanpa mengulang pola-pola destruktif yang dulu dianggap biasa. Saya ingin mereka belajar menghormati orang tua karena orang tuanya memang pantas dihormati, bukan karena takut atau terpaksa. Saya ingin mereka tumbuh dengan kepercayaan diri, bukan ketakutan. Saya ingin mereka mengenang masa kecil sebagai masa yang penuh cinta, bukan luka.
Pada akhirnya, baik anak maupun orang tua bisa berperilaku durhaka jika hubungan keluarga dibangun bukan atas dasar kasih sayang, tetapi atas dasar ego. Karena itu, saya percaya bahwa keluarga yang sehat harus dibangun dengan dialog dua arah, empati timbal balik, dan kesadaran bahwa setiap anggota keluarga memiliki nilai yang sama. Orang tua memang punya pengalaman hidup lebih banyak, tetapi anak juga punya perspektif yang layak didengar.
Kini saya memahami bahwa durhaka bukan soal siapa yang lebih muda atau lebih tua, tetapi soal siapa yang gagal menjaga hubungan dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Dan sebagai orang tua, saya belajar setiap hari agar tidak menjadi bagian dari lingkaran durhaka itu, agar anak-anak saya tumbuh sebagai manusia yang tahu cara mencintai, menghargai, dan diperlakukan dengan baik.













