Saya menulis ini bukan sekadar curhat atau gimmick. Ini refleksi dari banyak suara orang tua, yang memutuskan memilih sekolah dari SD swasta ke jenjang SMP maupun MTs berbasi ssekolah negeri.
Awalnya, keputusan ini terasa logis dengan sekolah negeri tidak berbayar, fasilitas katanya lengkap, dan statusnya “favorit.” Tapi setelah berjalan beberapa waktu, barulah beberapa walimurid sadar, label “favorit” tidak selalu identik dengan “pelayanan terbaik.”
Sekolah swasta memang hidup dari pelayanan dan mutu. Bagaimana tidak, tanpa keduanya, mereka akan ditinggalkan. Maka, setiap wali murid disapa, setiap keluhan direspons, setiap kegiatan dikelola dengan semangat profesional. Guru-gurunya mungkin tidak semuanya sempurna, tapi mereka sadar dengan keberadaan mereka adalah bagian dari sistem pelayanan pendidikan yang harus dirawat. Mereka hadir bukan hanya untuk murid, tapi juga untuk wali murid, orang-orang yang mempercayakan masa depan anaknya.
Di sekolah negeri, ceritanya agak berbeda. Banyak fasilitas yang sebenarnya bagus, tapi tidak semua dijalankan dengan semangat yang sama. Beberapa anak wali murid, pernah melihat guru yang mengajar sambil menggenggam ponsel, entah membuka TikTok atau Reels. Mungkin itu hanya satu-dua orang, tapi cukup menggambarkan ada sesuatu yang longgar di sistem. Mungkin karena sudah ASN, mungkin karena rutinitas yang membuat semangat mengajar jadi menurun.
Di sisi lain, orang tua terbiasa dengan ritme sekolah swasta akhirnya kembali harus menambah “biaya tersembunyi” yaitu dengan mencarikan les tambahan untuk anak baik daring maupun luring. Bukan karena anak tidak pintar, tapi karena ruang pembelajaran di sekolah kadang terasa formalitas. Hanya sekadar hadir, mencatat, lalu pulang. Padahal yang diharapkan adalah pengalaman belajar yang menginspirasi.
Bicara soal kegiatan ekstrakurikuler pun sama. Di brosur atau papan pengumuman, ekskul musik sudah tercantum. Tapi kenyataannya, alat musiknya belum ada. Drum set mungkin masih angan-angan, gitar hanya satu dua, dan siswa yang berminat akhirnya berlatih seadanya. Ini kecil memang, tapi dari hal kecil itulah anak-anak belajar mencintai sekolahnya. Jika semangat itu tak dirawat, maka yang tumbuh hanyalah rasa jenuh.
Namun, tulisan ini bukan untuk menyalahkan. Justru sebaliknya, ini refleksi untuk semua pihak. Bagi sekolah swasta, pengalaman ini menjadi pengingat bahwa pelayanan adalah ruh utama. Jangan pernah berpuas diri hanya karena sudah “terlihat bagus.” Dunia pendidikan berubah cepat, dan pelayanan yang hangat tetap menjadi pembeda utama.
Sementara bagi sekolah negeri, ini juga saatnya bercermin. Negeri seharusnya menjadi wajah terbaik dari negara, tempat di mana mutu dan pelayanan publik bertemu dalam harmoni. Fasilitas boleh besar, status boleh tinggi, tapi tanpa sentuhan pelayanan yang manusiawi, semuanya terasa hambar.
Pepatah Jawa berkata, “Ono rego, ono rupa” artinya ada harga, ada rupa. Tapi di dunia pendidikan, semestinya pepatah itu tidak berhenti di soal biaya. Karena sejatinya, pendidikan adalah ruang pelayanan publik yang paling suci dimana tempat membentuk manusia, bukan sekadar mencetak nilai.
Sebagai orang tua, saya belajar untuk lebih bijak. Bahwa tidak semua sekolah negeri buruk, tidak semua sekolah swasta sempurna. Tapi yang paling penting, sekolah apa pun bentuknya, harus punya komitmen untuk melayani, bukan sekadar mengajar.
Pelayanan itu bukan basa-basi. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap masa depan anak-anak kita. Dan di situlah sebenarnya mutu pendidikan itu diuji, bukan di papan nilai, tapi di cara sekolah memperlakukan manusia di dalamnya.