Dalam hidup, selalu ada orang yang hobinya “aji mumpung”. Padahal sering kali, yang aji mumpung itu ujung-ujungnya malah aji ilang, hilang wibawa, hilang kepercayaan, hilang pahala, kadang ya hilang jabatan sekalian. Hidup itu lucu, dipikirnya sedang cerdik memanfaatkan peluang, rupanya sedang menggali lubang kenistaannya sendiri.
Yang menggelikan lagi, orang aji mumpung sering merasa paling aman. “Ah, nggak ada yang tahu.”
Iya, manusia mungkin tidak tahu. Tapi Allah selalu tahu.
Nah kalau Allah sudah turun tangan, mau sembunyi di balik gundukan tanah pun tidak akan selamat. Itulah kenapa balasan-Nya sering datang bukan pelan-pelan, tapi jadi shock therapy, supaya kita sadar dan tidak mengulanginya. Allah sudah memperingatkan dalam QS. Al-Muthaffifin ayat 1-3:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
Ayat ini tepat sekali menggambarkan mental “aji mumpung”: maunya untung, tapi merugikan orang lain. Ingin hak penuh, tapi memberi dengan setengah hati.
Hidup hakikatnya sederhana:
Kalau bukan hakmu, jangan diambil. Kalau hakmu, ambil dengan cara terhormat.
Dan kalau rezekimu belum datang, jangan memaksa, nanti malah dapat masalah paket lengkap (stres, malu, plus reputasi hancur).
Terkadang orang yang hobi aji mumpung ini lupa bahwa hidup seperti antrean tiket naik kereta: semua orang punya gilirannya. Kalau giliran orang lain juga diambil, ya jangan heran kalau dapat balasan dengan cara paling random tapi tepat sasaran.
Ingat juga sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits ini memiliki makna mendalam bahwa setiap individu memiliki peran kepemimpinan sesuai kapasitasnya, mulai dari kepala keluarga, orang tua atas anak, bahkan pembantu atas harta tuannya, dan semuanya akan dimintai pertanggungjawaban (dimintai hisab) di akhirat atas amanah yang diemban tersebut. Hadis ini menekankan konsep tanggung jawab universal dalam Islam, bahwa tidak ada yang bebas dari kepemimpinan, dan setiap pemimpin wajib menjaga, memimpin dengan adil, serta akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat atau yang dipimpinnya.
Maka setiap amanah, sekecil apa pun, jangan diperlakukan sebagai peluang aji mumpung, tapi sebagai pertanggungjawaban akhirat.
Karena itu, daripada jadi “aji mumpung” yang akhirnya “aji ilang”, lebih baik jadi orang yang legowo. Yang tahu batas, tahu diri, dan tahu kapan harus berhenti. Hidup jadi lebih tenang, tidak perlu sembunyi-sembunyi, dan yang paling penting yaitu tidak menyakiti dan mengambil hak orang lain. Semoga langkah kita senantiasa dibimbing Allah menuju puncak dengan cara yang benar.












