Surabaya, 11 Oktober 2025 – Media sosial kini bukan lagi sekadar ruang berbagi informasi, melainkan medan perang opini dan emosi. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur, Muhammad Sholihin, dalam Pelatihan Manajemen Reputasi Digital yang digelar pada Sabtu, 11 Oktober 2025. Ia menyoroti bagaimana konten yang paling mudah viral di dunia maya justru sering kali adalah konten yang membangkitkan emosi, meski berangkat dari perspektif yang menyimpang dari kebenaran.
“Yang terpenting, kita harus punya strategi supaya tidak terjebak bahwa kita masih dalam pembincang yang tidak ada orangnya,” ujar Sholihin, mengingatkan peserta agar tidak larut dalam perdebatan digital yang destruktif dan manipulatif. Menurutnya, reputasi digital bukan dibangun dengan balas-membalas komentar, melainkan dengan karya nyata dan konsistensi dalam menyebarkan nilai kebaikan.
Dalam sesi interaktif tersebut, Sholihin memaparkan dua tantangan besar yang tengah dihadapi Persyarikatan Muhammadiyah di era digital. Pertama, tantangan penolakan lokal di daerah minoritas yang sering kali dipicu oleh hoaks dan misinformasi. Kedua, beban reputasi sebagai organisasi “terkaya” di Indonesia yang menimbulkan asumsi keliru di masyarakat.
Salah satu peserta, Zainal Khalifin dari Sampang, Madura, menuturkan bagaimana upaya pendirian Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di daerahnya sempat mendapat penolakan keras dari tokoh-tokoh lokal. Penolakan itu bukan disebabkan oleh substansi ajaran Muhammadiyah, melainkan oleh narasi negatif di media sosial yang menuduh Muhammadiyah bertentangan dengan ajaran leluhur. Padahal, upaya generasi muda Muhammadiyah di sana justru bertujuan untuk memperkuat kegiatan sosial dan pendidikan masyarakat.
Menanggapi hal itu, Sholihin menegaskan bahwa jalan terbaik untuk menghadapi bumerang hoaks bukan dengan reaksi emosional, tetapi dengan keteladanan dan aksi nyata. “Muhammadiyah tidak boleh menyerah atau membalas dengan arogansi. Pendekatan terbaik adalah dakwah bil hal, melawan hoaks digital dengan bukti di dunia nyata,” tegasnya. Ia mencontohkan bahwa kegiatan sosial seperti santunan, penghargaan kepada masyarakat sekitar, hingga pelayanan kesehatan bisa menjadi jembatan dakwah yang lebih efektif ketimbang debat di ruang digital.
Lebih jauh, Sholihin menyoroti tantangan lain yang tak kalah kompleks: citra Muhammadiyah sebagai organisasi “terkaya” di Indonesia. Menurutnya, citra itu memang menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap amal usaha Muhammadiyah, mulai dari rumah sakit, sekolah, hingga universitas ternama. Namun, di sisi lain, citra tersebut kerap menimbulkan kesalahpahaman. “Ada yang bilang, ‘Sugih kok jaluk bantuan’ (kaya kok minta bantuan). Padahal, yang mengajukan bantuan itu bukan untuk pribadi, tapi untuk umat,” ujarnya.
Di tengah berbagai tantangan itu, Sholihin menawarkan konsep transformatif yang ia sebut sebagai Infak Informasi. Ia mengajak seluruh anggota Muhammadiyah untuk memandang setiap posting positif di media sosial sebagai bentuk infak. “Memberitakan sesuatu yang positif, yang kita kerjakan, adalah bagian dari infak informasi pada publik. Infak, Pak. Dahlan, Pak,” ujarnya menirukan gaya pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
Konsep ini, menurutnya, menjadi kunci untuk mengisi ruang digital yang saat ini terlalu banyak diisi oleh konten negatif. Dengan semangat infak informasi, anggota Muhammadiyah diajak untuk aktif membagikan kisah inspiratif, kegiatan sosial, dan dakwah yang menyejukkan di berbagai platform seperti Facebook, Instagram, hingga TikTok. Dengan begitu, ruang maya tidak dibiarkan kosong atau diambil alih oleh narasi yang menyesatkan.
“Kalau kita posting sesuatu yang positif, niatkan itu sebagai dakwah, bukan pameran,” tegas Sholihin. Ia menambahkan bahwa reputasi digital Muhammadiyah bukan dibangun oleh satu lembaga besar, tetapi oleh konsistensi jutaan individu yang terus menebar kebaikan setiap hari. “Karakter orang kan juga akan membantu karakter organisasi,” ujarnya menutup sesi.
Pesan Sholihin sore itu menggema kuat di ruang pelatihan: viral bukanlah tujuan, melainkan ladang pahala. Di tengah derasnya arus informasi dan godaan popularitas digital, infak informasi menjadi panggilan moral baru bagi kader Muhammadiyah, berdakwah dengan keikhlasan, menyebar kebaikan dengan konsistensi, dan menjaga marwah Persyarikatan di dunia nyata maupun maya.
Editor: Marjoko