Thaif, sebuah kota yang terletak sekitar 80 kilometer sebelah timur Makkah, menyimpan kisah mendalam dalam perjalanan hidup Rasulullah Muhammad ﷺ. Kota yang kini dikenal sebagai destinasi ziyarah atau city tour oleh para jamaah haji dan umrah ini, ternyata memiliki keterkaitan erat dengan masa kecil sang Nabi. Ketika masih balita, Rasulullah diasuh oleh Halimah As-Sa’diyah, seorang wanita mulia yang berasal dari kabilah Sa’diyah yang tinggal di wilayah Thaif. Artinya, Thaif bukanlah tempat asing bagi Rasulullah. Bahkan bisa dikatakan, saat beliau datang berdakwah ke kota itu, sejatinya beliau tengah “pulang kampung”.
Namun, perjalanan ke Thaif bukan sekadar kunjungan nostalgia. Ketika Makkah menutup pintu terhadap dakwah Islam, Thaif menjadi harapan baru bagi Rasulullah untuk menyebarkan risalah tauhid. Tetapi harapan itu disambut dengan penolakan pahit. Para pembesar Thaif bukan hanya menolak dakwah Rasulullah, mereka juga menghasut penduduk kota untuk mengusir beliau. Rasulullah dilempari batu hingga darah mengucur dari tubuh mulianya. Beliau terpaksa berlindung di kebun milik Utbah dan Syaibah, dua bersaudara dari Makkah yang kala itu tengah berada di Thaif.
Dalam keadaan lelah dan luka, datanglah Malaikat Jibril menawarkan pembalasan. Jibril menyampaikan bahwa Allah memberikan izin untuk membalikkan dua gunung yang mengapit kota Thaif agar seluruh penduduknya binasa. Sebuah tawaran yang sangat manusiawi untuk diterima, terlebih setelah menerima perlakuan begitu keji. Tetapi Rasulullah, dengan kasih sayang yang luar biasa, menolak tawaran itu. Beliau justru mendoakan agar dari anak keturunan penduduk Thaif akan lahir generasi yang beriman dan memperjuangkan Islam.
Doa itu bukan sekadar harapan kosong. Bertahun-tahun kemudian, Thaif justru menjadi salah satu benteng kuat Islam. Banyak tokoh-tokoh besar lahir dari kota itu. Penduduknya memeluk Islam secara sukarela dan menjadi bagian penting dari kekuatan umat. Apa yang dahulu ditolak dengan batu, akhirnya tumbuh menjadi taman iman yang subur.
Kisah Rasulullah di Thaif mengandung pelajaran besar bagi siapa pun yang tengah berjuang membawa perubahan. Bahwa menjual gagasan, menawarkan kebenaran, atau menyampaikan sesuatu yang baru, bahkan di lingkungan sendiri atau kampung halaman, tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Penolakan, cacian, bahkan kekerasan bisa menjadi bagian dari proses dakwah dan perjuangan. Namun, respon Rasulullah yang penuh kasih sayang, kesabaran, dan visi jauh ke depan adalah teladan abadi bagi umat manusia.
Hari ini, para jamaah yang berziyarah ke Thaif bukan hanya menyusuri jejak fisik Rasulullah, tetapi juga mengenang dan memetik hikmah dari episode mulia ini. Thaif bukan lagi kota yang menolak, tapi telah menjadi kota kenangan akan keteguhan hati, kesabaran dalam dakwah, dan keyakinan bahwa kebaikan akan tumbuh meski dari tanah yang awalnya menolak.