Muharram, sang gerbang tahun baru Hijriah, bukan sekadar penanda waktu, melainkan menyimpan jejak kisah yang menggetarkan jiwa, tentang detik-detik penyelamatan Nabi Musa AS dari cengkeraman Firaun yang bengis, pada hari Asyura, 10 Muharram. Ini bukan dongeng biasa, melainkan simfoni dramatis tentang keajaiban dan keyakinan.
Bayangkan kengerian itu: Nabi Musa dan Bani Israil terperangkap! Di hadapan mereka, terbentang luas Laut Merah yang gelap dan tak berujung, bagai jurang pemisah antara hidup dan mati. Di belakang mereka, debu mengepul di cakrawala, pertanda pasukan Firaun yang haus darah, dengan ribuan kereta perang dan tombak berkilat, semakin mendekat, siap mencabik-cabik harapan. Setiap napas terasa berat, setiap detik bagai palu godam yang menghantam jantung. Kepanikan merayap, menjerat jiwa-jiwa yang letih. Di titik terjepit ini, ketika logika berkata semua telah sirna, hanya ada satu nama yang terucap: Allah!
“Kita tamat!” Bisikan putus asa mulai terdengar dari Bani Israil. Namun, di tengah hiruk-pikuk ketakutan, Nabi Musa berdiri teguh, laksana mercusuar di tengah badai. Matanya menatap tajam ke depan, bukan pada riak ombak, melainkan pada janji Ilahi yang tak pernah ingkar.
Dengan suara yang menggetarkan, membelah keputusasaan, ia berseru, mengutip firman yang kelak abadi dalam QS. Asy-Syu‘ara: 62: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Dan kemudian, terjadilah! Atas perintah yang hanya bisa didengar oleh hati seorang nabi, Nabi Musa mengangkat tongkatnya. Bukan sekadar kayu, namun jelmaan keyakinan yang membara. Dengan kekuatan yang tak terlihat oleh mata telanjang, tongkat itu membelah udara, lalu menghantam permukaan laut. Seketika itu juga, alam membisu, dan kemudian, gemuruh dahsyat mengguncang semesta!
Lautan, yang tadinya perkasa dan tak tertembus, kini terbelah dua, menjulang tinggi bagai dinding air raksasa di kanan dan kiri! Sebuah jalan kering, membentang di dasar samudra, terbuka lebar, menganga, seolah bumi sendiri menyerahkan diri kepada kehendak-Nya. Bani Israil melangkah, kaki-kaki mereka menyentuh dasar laut yang kering, melintasi jalan keajaiban itu dengan napas tertahan, di antara dua tembok air yang menjulang tinggi, di bawah langit yang menyaksikan keagungan-Nya. Mereka berjalan menuju kebebasan, meninggalkan bayang-bayang penindasan.
Namun, Firaun yang sombong, dengan keserakahannya yang membabi buta, melihat celah itu sebagai kesempatan. Dengan tawa pongah, ia dan seluruh pasukannya menyerbu masuk ke dalam celah yang baru terbuka itu, yakin akan merebut kembali mangsanya. Mereka melaju kencang, terbuai oleh ilusi kemenangan. Tepat ketika Firaun dan seluruh pasukannya telah masuk ke dalam “lorong kematian” itu, keajaiban yang lebih dahsyat terjadi!
Dinding-dinding air yang agung itu, yang tadinya diam terpaku, kini runtuh dengan gemuruh yang memekakkan telinga! Lautan kembali menutup, dengan kekuatan ribuan badai, menelan segalanya. Gelombang-gelombang raksasa menyapu bersih setiap kereta, setiap prajurit, setiap jejak kesombongan Firaun. Jeritan mereka tercekat, tenggelam bersama ambisi dan kekejian. Firaun, simbol kezaliman, akhirnya menemui ajalnya, disapu oleh kuasa yang tak terhingga.
Kisah ini, yang dikenang abadi setiap Muharram, khususnya hari Asyura, adalah simfoni agung tentang kemenangan iman atas tirani, tentang pertolongan Allah yang datang dari arah tak terduga. Ia mengajarkan kita bahwa ketika dunia menutup semua pintu, ketika masalah terasa begitu besar hingga melumpuhkan, kita tak perlu tahu bagaimana jalan keluarnya.
Cukup satu hal: yakini bahwa Allah pasti akan menolongmu. Ini adalah undangan untuk terus bergerak, untuk terus “memukulkan tongkat” sekecil apa pun usaha itu, karena di balik ikhtiar kita, ada kehendak Ilahi yang luar biasa. Bulan Muharram, khususnya Asyura, adalah momen untuk merenungkan kekuatan iman, keikhlasan total, dan keyakinan penuh pada janji Ilahi. Ini adalah warisan spiritual yang abadi dari seorang nabi yang tak pernah ragu, dan Tuhan yang tak pernah mengecewakan hamba-Nya yang beriman.
Ada hikmah besar dari kejadian itu “Nabi Musa mendapat petunjuk dari Allah untuk memukul tongkatnya dan Nabi Musa tidak tahu laut akan terbelah, Beliau hanya tahu bahwa Allah pasti akan menolongnya. Maka begitu pula masalahmu saat ini, engkau tidak perlu tahu bagaimana jalan keluarnya, cukup yakin saja bahwa Allah pasti akan menolongmu.”
Pelajaran dari kisah ini sangat relevan di tengah berbagai krisis dan ketidakpastian hidup saat ini. Umat manusia diajak untuk tidak menyerah, untuk tetap bergerak meski hanya dengan ‘memukulkan tongkat’, sekecil apa pun usaha itu. Sebab, di balik ikhtiar yang tampak biasa, ada kehendak Ilahi yang luar biasa.