Dalam heningnya waktu yang mengalir ribuan tahun, jauh sebelum kalender Masehi dikenal, hiduplah seorang pria bernama Nuh. Beliau bukanlah sekadar manusia biasa, melainkan utusan Ilahi, Rasul pertama yang diutus ke bumi, sebuah mercusuar keimanan di tengah lautan kegelapan yang mulai merayap. Ia adalah cucu dari Nabi Idris, silsilahnya merentang lurus hingga ke Nabi Adam, akar-akar tauhid yang mulia.
Ketika Nuh dilahirkan, dunia masih berputar dalam poros ketauhidan yang murni, warisan dari para pendahulunya. Namun, seiring berjalannya abad, kegelapan mulai menyelimuti. Hati manusia, yang tadinya hanya condong pada Yang Maha Esa, perlahan tergoda bisikan licik Iblis. Setelah orang-orang saleh di masa itu seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasra berpulang ke Rahmatullah, Iblis menanamkan ide busuk ke dalam benak manusia. “Buatlah patung-patung sebagai pengingat kesalehan mereka,” bisiknya, “agar generasi penerus tak lupa akan kebaikan mereka.”
Awalnya, patung-patung itu memang hanya sebatas pengingat, tak lebih dari sebongkah batu atau pahatan kayu. Namun, waktu adalah pedang bermata dua. Ilmu mulai terkikis, pemahaman memudar. Iblis, sang musuh abadi, kembali melancarkan serangannya. “Patung-patung ini adalah perantara kalian dengan Tuhan,” bisiknya lagi, lebih halus, lebih meyakinkan. Perlahan tapi pasti, yang tadinya hanya pengingat, berubah menjadi sesembahan. Cahaya tauhid meredup, digantikan oleh bayangan kesyirikan yang pekat. Inilah awal mula petaka, racun yang menyebar dan menggerogoti iman manusia.
Di tengah kegelapan itulah, Nuh berdiri tegak, memikul amanah yang begitu berat. Selama sembilan ratus lima puluh tahun, ya, hampir satu milenium, Nuh tanpa lelah menyerukan kalimat tauhid. Suaranya bergema di padang pasir, di lembah-lembah, di setiap penjuru yang bisa ia jangkau. “Sembahlah Allah! Tiada Tuhan selain Dia!” teriaknya. Namun, kaumnya, seperti dinding kokoh yang tak bergeming, menolak. Mereka tertawa, mengejek, bahkan melempari batu. “Nuh gila! Mana mungkin ada banjir besar di tanah yang kering ini?” ejek mereka ketika ia mulai membangun kapal besar atas perintah Tuhan, jauh dari air, di tengah daratan.
Hati Nuh tercabik menyaksikan kekerasan hati kaumnya. Bagaimana bisa mereka begitu buta, begitu tuli, terhadap kebenaran yang nyata? Ia melihat putra kandungnya sendiri, Kan’an, tenggelam dalam lautan kekufuran bersama ibunya. Sebuah pedih yang tak terkira bagi seorang ayah, bagi seorang nabi.
Lalu, datanglah saat yang dinanti, sekaligus ditakuti. Langit meraung, memuntahkan air bah tanpa henti. Bumi bergejolak, memancarkan air dari setiap celah. Banjir bandang dahsyat pun terjadi, menenggelamkan segala yang ada. Hewan, tumbuhan, manusia semua ludes ditelan amuk air, kecuali mereka yang berpegang teguh pada tauhid dan berada di atas bahtera Nuh. Itu bukanlah kapal biasa, melainkan perwujudan mukjizat Ilahi, sebuah bahtera yang dirancang dan diawasi langsung oleh Allah, menembus gelombang dahsyat yang melumat peradaban.
Ketika air surut, hanya Nuh dan para pengikutnya yang tersisa, bersama sepasang dari setiap makhluk hidup. Merekalah bibit peradaban baru, harapan untuk masa depan yang bertauhid. Namun, ironisnya, bahkan setelah azab yang sedemikian rupa, bisikan Iblis tetap lestari, mencari celah di hati manusia. Generasi demi generasi lahir, dan lagi-lagi, kesyirikan kembali merayap, membuktikan bahwa sejarah akan selalu berulang bagi mereka yang tidak mengambil pelajaran.
Kisah Nuh adalah pekikan keras bagi kita. Sebuah cermin abadi tentang bahaya paling mematikan bagi jiwa: syirik. Ia mengajarkan bahwa azab itu nyata, dan kehinaan di dunia serta neraka di akhirat adalah takdir bagi para pembangkang. Namun, di sisi lain, ia juga adalah ode tentang keteguhan, kesabaran, dan harapan. Bahwa di tengah badai terbesar sekalipun, ada bahtera penyelamat bagi mereka yang berpegang teguh pada tauhid dan menaati perintah-Nya. Akankah kita belajar dari air bah yang menelan masa lalu, atau membiarkan diri kita terseret ombak kesyirikan yang sama?