Dalam beberapa tahun terakhir, istilah work-life balance menjadi mantra yang digaungkan di berbagai sudut ruang diskusi, seminar motivasi, hingga percakapan santai anak muda. Konsep ini seolah menawarkan kunci untuk hidup yang lebih sehat dengan bekerja secukupnya, menikmati hidup sebanyak-banyaknya. Tetapi sejauh apa konsep ini benar-benar membantu? Atau jangan-jangan, justru membatasi potensi manusia untuk mencapai hal-hal luar biasa dalam hidupnya?
Dalam sebuah episode podcast Suara Berkelas, narasumber David Noah mengemukakan pendapat yang cukup kontroversial, bahwa manusia medioker justru lahir dari gaya hidup work-life balance. Bukan karena keseimbangan itu buruk, melainkan karena ia sering disalahpahami. Banyak orang mengartikan balance sebagai “bekerja seminim mungkin dan menikmati hidup semaksimal mungkin”, seakan-akan pekerjaan adalah beban yang harus dikurangi dan kehidupan pribadi adalah pelarian yang harus dimaksimalkan. Cara pandang inilah yang kemudian melahirkan versi “seimbang” yang sebetulnya tidak mendorong kemajuan.
Di sinilah muncul konsep baru yakni Work Life in Harmony. Bukan lagi tentang timbangan antara kerja dan hidup pribadi, melainkan tentang irama yang menyatukan keduanya. Dalam harmoni, kerja bukan gangguan bagi hidup; dan hidup pribadi bukan gangguan bagi kerja. Keduanya bukan dua kubu yang harus dipisahkan, tetapi dua elemen yang bisa saling menguatkan jika dikelola dengan kesadaran penuh.
Pada dasarnya, irama hidup setiap orang berbeda. Ada orang yang membutuhkan batas jelas antara kantor dan rumah untuk menjaga kewarasan mental. Ada pula yang justru menemukan kebahagiaan ketika ia boleh sepenuhnya menumpahkan energi, waktu, dan pikirannya pada visi besar yang ia kejar. Dalam konteks inilah work-life harmony terasa lebih relevan. Ia tidak memaksa semua orang untuk mengikuti standar keseimbangan yang sama, melainkan memberi ruang bagi setiap individu untuk menentukan sendiri irama hidup yang selaras dengan tujuan mereka.
Lebih jauh lagi, work-life harmony justru memberi penekanan pada kesadaran diri. Seseorang yang ingin meraih pencapaian besar harus mampu mengelola waktunya dengan sangat bijak. Ia menyadari bahwa kesuksesan tidak pernah tercipta dari ruang santai yang terlalu besar. Ada momen-momen ketika bekerja keras adalah keharusan, bukan pilihan. Ada fase hidup ketika waktu luang harus direlakan demi visi jangka panjang. Namun pada saat yang sama, ia juga tahu kapan harus istirahat agar energi dan kreativitas tetap terjaga. Ini bukan lagi sekadar soal bekerja lebih banyak, tetapi soal bekerja dengan kesengajaan dan arah yang jelas.
Yang membuat konsep ini menarik adalah sifatnya yang sangat personal. Tidak semua orang ingin mencapai pencapaian luar biasa, dan itu bukan masalah. Work-life harmony tidak menuntut semua orang untuk hidup dalam ambisi besar. Justru ia menawarkan pilihan yaitu jika ingin mencapai capaian maksimal, harmonikan hidupmu dengan tujuan itu. Jika tujuanmu adalah hidup sederhana dan penuh jeda, itu juga sah. Yang penting adalah keselarasan antara pilihan dan tindakan, antara keinginan dan usaha.
Dalam dunia yang semakin cepat bergerak, barangkali memang sudah saatnya kita berhenti memaksakan konsep “keseimbangan” yang sama bagi semua orang. Bukan berarti work-life balance salah, tetapi ia sering disalahartikan dan digunakan sebagai tameng untuk menghindari kerja keras. Work-life harmony mengajak kita memahami hidup secara lebih realistis, bahwa kerja dan kehidupan pribadi bukan dua musuh abadi yang harus dipisahkan, tetapi dua instrumen yang dapat menciptakan musik terbaik ketika dimainkan dalam irama yang tepat.
Pada akhirnya, hidup bukanlah tentang mencapai titik seimbang yang statis, melainkan tentang bergerak dinamis mengikuti kebutuhan dan tujuan yang terus berkembang. Kita tidak hanya butuh waktu untuk bersantai, tetapi juga waktu untuk tumbuh. Tidak hanya butuh ruang untuk menikmati hidup, tetapi juga ruang untuk menciptakan karya.
Dan dalam harmoni yang tepat, dua hal itu tidak perlu saling mengalahkan, justru saling menguatkan.













