Fenomena penggunaan simbol-simbol fiksi seperti Wakanda, Konoha, dan kini Jolly Roger untuk mengkritik kondisi Indonesia adalah cerminan kecerdasan dan kreativitas generasi digital. Narasi kritik yang disampaikan tidak lagi terbatas pada bahasa formal atau demonstrasi fisik, tetapi juga melalui metafora yang diambil dari budaya populer yang akrab bagi mereka. Penggunaan simbol-simbol ini bukan sekadar lelucon atau bentuk eskapisme, melainkan alat komunikasi yang efektif untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap realitas sosial dan politik.
Ketika Wakanda disandingkan dengan Indonesia, pesan yang tersirat begitu menusuk: mengapa negara yang kaya sumber daya alam justru kesulitan menyejahterakan rakyatnya? Wakanda, dengan vibraniumnya yang dikelola mandiri untuk kemajuan bangsa, menjadi antitesis bagi negara yang kekayaan alamnya justru seringkali dieksploitasi oleh pihak asing, atau dinikmati oleh segelintir elite.
Ini adalah kritik terhadap kedaulatan ekonomi dan pengelolaan sumber daya, mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika sebuah bangsa mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa harus tunduk pada intervensi dari luar. Selain itu Digunakannya istilah Wakanda yang makmur dan kaya sebagai plesetan kata Indonesia bertujuan untuk menghindari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.
Kemudian, Indonesia sering disamakan dengan desa fiksi Konoha dari serial Naruto karena kemiripan para pemimpinnya. Konoha memiliki tujuh Hokage, mirip dengan Indonesia yang sudah dipimpin oleh beberapa presiden. Soekarno, presiden pertama, disamakan dengan Hashirama karena keduanya pendiri negara dan tegas. Soeharto mirip Tobirama, yang membantu pemimpin pertama. B.J. Habibie dan Hiruzen sama-sama dikenal cerdas. Gus Dur seperti Minato, yang rela mundur demi perdamaian.
Megawati mirip Tsunade karena sama-sama perempuan pertama yang memimpin dan merupakan keturunan pemimpin pertama.Tak hanya itu, Susilo Bambang Yudhoyono juga memiliki kemiripan dengan Kakashi Hatake sebagai pemimpin keenam Konoha. Pasalnya, keduanya sama-sama berasal dari lingkungan militer.
Sedangkan, untuk Presiden Joko Widodo dianggap memiliki kesamaan dengan Naruto Uzumaki karena memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan kedamaian di negara lain. Istilah Konoha sama seperti Wakanda yaitu, bertujuan untuk menghindari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik.
Yang paling baru dan mencolok adalah munculnya bendera Jolly Roger, simbol bajak laut dari One Piece, yang dikibarkan di tengah perayaan kemerdekaan. Ini bukan sekadar tindakan provokatif, melainkan pernyataan sikap yang kuat. Dalam One Piece, bajak laut adalah simbol perlawanan terhadap pemerintahan dunia yang korup dan manipulatif. Dengan mengasosiasikan lambang ini dengan Indonesia, netizen seakan menyiratkan bahwa kemerdekaan yang dirayakan belum sepenuhnya terasa adil. Mereka melihat bahwa sistem kekuasaan sering kali dijalankan oleh “Marine” dalam artian kiasan Pemerintah Dunia: mereka yang serakah, hanya mementingkan kekuasaan, dan mengabaikan aspirasi rakyat.
Penggunaan simbol-simbol ini menunjukkan adanya pergeseran cara pandang dalam menyampaikan kritik. Generasi muda tidak lagi menunggu platform formal untuk menyampaikan pendapat mereka. Mereka menciptakan ruang diskursus sendiri melalui media sosial, menggunakan bahasa yang mereka pahami dan nikmati. Narasi fiksi tidak lagi hanya sekadar hiburan, tetapi telah bertransformasi menjadi alat untuk membedah kenyataan.
Ke depannya, sangat mungkin simbol-simbol dari semesta fiksi lain seperti Attack on Titan yang membahas otoritarianisme, Black Mirror yang mengkritik teknologi dan dampaknya, atau My Hero Academia yang mengeksplorasi isu keadilan dan kekuatan, akan turut digunakan.
Hal ini membuktikan bahwa batas antara fiksi dan realitas semakin kabur dalam upaya manusia untuk memahami dan mengkritik dunia di sekitarnya. Kritik ini bukan hanya sekadar protes, tetapi juga sebuah pernyataan bahwa mereka peduli, dan mereka memilih cara yang paling efektif dan relevan bagi generasi mereka untuk menyuarakan kepedulian tersebut.