Suatu sore, saya duduk di teras masjid sambil ngopi. Di depan saya, sekelompok anak muda sibuk debat soal siapa ustadz yang paling lurus manhaj-nya. Ada yang bilang ustaz A paling sunnah, yang lain ngotot ustaz B lebih kaffah. Saya cuma senyum kecil. Dalam hati, saya bertanya, “Sejak kapan kebenaran jadi lomba popularitas ustaz?”
Fenomena semacam ini makin sering. Di media sosial, agama jadi konten: ada yang berdakwah dengan nada marah, ada yang jualan air doa, bahkan ada yang viral karena “keturunan Nabi” tapi isi ceramahnya bikin jidat berkerut. Sementara sebagian umat malah sibuk mengidolakan habib-habiban, lengkap dengan jargon “jangan kurang ajar sama cucu Nabi!” meski kelakuannya jauh dari akhlak Rasul. Di sisi lain, sebagian pondok pesantren masih terjebak gaya feodalisme lama, kiai dianggap maksum, santri tidak boleh bertanya, dan segala kritik dianggap durhaka. Hormat kepada kyai itu mulia, tentu saja. Tapi kalau hormat berubah jadi ketakutan, itu bukan adab, itu penaklukan.
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan “wajibkah kita bermuhammadiyah?” mendadak terasa relevan. Bukan dalam arti wajib seperti salat lima waktu, tapi wajib sebagai pilihan rasional di tengah dunia keislaman yang makin penuh simbol dan kultus.
Mari kita ingat, Muhammadiyah lahir bukan karena Ahmad Dahlan ingin bikin organisasi tandingan. Beliau bukan tipe orang yang suka rebutan panggung. Justru sebaliknya, beliau resah. Pada awal abad ke-20, Islam di Nusantara sedang dalam fase “beragama tapi tertinggal.” Masjid ramai, pendidikan sepi. Doa panjang, tapi pengetahuan dangkal. Banyak orang lebih percaya dukun daripada dokter, lebih rajin wiridan daripada bekerja. Ahmad Dahlan melihat semua itu dengan perih. Maka beliau berpikir, kalau Islam itu rahmatan lil ‘alamin, kenapa umatnya justru terpuruk?
Dari kegelisahan itulah Muhammadiyah lahir. Ia bukan sekadar ormas, tapi gerakan pembaruan. Intinya cuma satu yakni mengembalikan Islam ke sumber aslinya, Al-Qur’an dan Sunnah, dengan semangat rasional, ilmiah, dan berkemajuan. Kalau Islam itu cahaya, Muhammadiyah berusaha menyalakan lampu-lampu kecil di tengah gelapnya kebodohan lewat sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan universitas. Amal, bukan cuma kata.
Tapi, di luar sana, sebagian orang masih menganggap Muhammadiyah itu “dingin”, “kurang rasa”, atau “kurang barokah.” Padahal yang dingin bukan Muhammadiyah-nya, tapi nalar kita yang sudah terbiasa dengan drama spiritual. Kita suka yang berbau mistik, karomah, atau kisah supranatural. Padahal Islam sejatinya bukan tentang siapa yang paling sering mimpi ketemu Nabi, tapi siapa yang paling jujur dan bermanfaat bagi sesama.
Di sinilah Muhammadiyah tampil agak “nggak gaul” di mata sebagian orang. Ia tidak menjual mimpi, tidak mengobral surga, tidak menakut-nakuti neraka. Ia bicara dengan logika, bukan dengan ancaman. Ia berdakwah lewat rumah sakit, bukan lewat ceramah marah-marah. Sementara di luar sana, ada yang bisa viral hanya karena memaki kafir atau bersorban besar sambil berteriak soal bid’ah.
Kalau dipikir-pikir, Muhammadiyah itu seperti bapak yang tenang di tengah keluarga besar yang ribut. Ia jarang ikut debat, tapi diam-diam yang membiayai sekolah, membangun rumah sakit, dan mengurus panti. Kadang dianggap kaku, padahal justru paling bekerja. Diam tapi berdampak.
Fenomena feodalisme di pesantren juga menarik dibahas. Dalam banyak pesantren, posisi kiai sering lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Kata kiai bisa jadi hukum. Santri tidak boleh bertanya, apalagi berbeda pendapat. Padahal dulu, Islam justru maju karena ulama saling debat dengan akhlak. Tapi sekarang, banyak santri takut berpikir. Akibatnya, ilmu berhenti di ruang takzim. Yang muncul bukan ulama merdeka, tapi pewaris dogma.
K.H. Ahmad Dahlan menolak sistem seperti itu. Dalam pandangannya, guru sejati adalah yang membuat muridnya berani berpikir, bukan yang menakut-nakuti dengan “kalau kamu bantah, berarti kurang ajar.” Islam yang diajarkan Ahmad Dahlan adalah Islam yang memerdekakan manusia dari taklid buta. Karena itulah Muhammadiyah berdiri untuk membebaskan umat dari kungkungan kebodohan, bukan untuk menciptakan pengikut baru yang pasif.
Lalu, wajibkah kita bermuhammadiyah? Ya, kalau yang kita maksud “bermuhammadiyah” adalah berislam dengan akal sehat. Kalau maksudnya adalah beragama tanpa taklid, bekerja dengan ikhlas, dan berpikir kritis, maka iya, kita wajib bermuhammadiyah. Tapi kalau bermuhammadiyah cuma berarti ikut rapat, pakai batik persyarikatan, lalu merasa paling benar, itu bukan semangat Ahmad Dahlan, itu cuma fanatisme berganti seragam.
Bermuhammadiyah bukan soal kartu anggota, tapi soal kesadaran. Ia adalah cara beragama yang menolak feodalisme, menolak kultus manusia, dan menolak kemalasan berpikir. Ia mengajarkan bahwa iman tanpa amal adalah hampa, dan amal tanpa ilmu adalah sia-sia.
Di tengah ormas yang sibuk mengklaim paling Islam, di tengah pesantren yang masih memelihara sistem feodal, dan di tengah habib-habiban yang menjual nasab, Muhammadiyah mengajak kita kembali ke inti yaiut tauhid yang memerdekakan, ilmu yang mencerahkan, dan amal yang menyejahterakan.
Ahmad Dahlan dulu pernah mengulang-ulang surah Al-Ma’un sampai muridnya bosan. Tapi beliau justru ingin mengingatkan bahwa agama bukan hafalan, melainkan tindakan. Dan mungkin, di zaman penuh klaim kebenaran ini, kita semua memang perlu diingatkan lagi. Bukan dengan marah, bukan dengan ancaman, tapi dengan aksi nyata, bekerja, berpikir, dan menebar manfaat.
Karena pada akhirnya, jadi Muhammadiyah itu bukan soal bendera. Itu soal keberanian untuk tetap waras di tengah hiruk-pikuk keagamaan yang semakin kehilangan arah.
			
			











