Dalam masyarakat kita, pertanyaan klasik tentang rezeki kerap muncul: Jika rezeki sudah ditetapkan oleh Allah, mengapa kita masih harus berikhtiar? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut persoalan teologis, tetapi juga cara kita memandang usaha, sedekah, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Al-Qur’an memberikan petunjuk yang jelas. Dalam Surah Hud ayat 6, Allah menegaskan bahwa setiap makhluk telah dijamin rezekinya. Lalu, Surah Al-Ankabut ayat 62 memperlihatkan bagaimana Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Sementara itu, Surah Al-Baqarah ayat 261 menunjukkan bahwa sedekah memiliki kedudukan istimewa sebagai salah satu sebab pelipatgandaan kebaikan, termasuk rezeki.
Dari rangkaian ayat ini, muncul kesimpulan fundamental: kunci rezeki berada sepenuhnya pada Allah, bukan pada dunia, bukan pada manusia. Rezeki bukan persoalan seberapa keras kita mengejar dunia, melainkan bagaimana kesesuaian hati kita dengan ketetapan Allah yang bersifat tak terbatas.
Untuk memahami bagaimana ketetapan itu bekerja, manusia harus memahami pula salah satu sifat Allah: Al-Ghaniy, Yang Maha Kaya tanpa batas. Jika Allah Maha Kaya tanpa batas, maka rezeki yang ditetapkan bagi hamba-Nya pun tidak dibatasi oleh ukuran duniawi yang sempit. Di sinilah letak esensinya: rezeki tidak terbatas, tetapi kesiapan jiwa manusialah yang membatasi penerimaannya.
Lalu, di mana posisi ikhtiar?
Ikhtiar bukanlah upaya mengejar dunia, melainkan mengejar karunia-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 10. Usaha yang benar bukan tentang seberapa cepat kita mengumpulkan harta, melainkan seberapa jauh kita memurnikan diri agar layak menerima aliran rezeki yang telah disediakan Allah.
Ada dua prinsip pokok yang sering kali luput dalam pemahaman umum:
- Allah tidak akan mengalirkan rezeki kepada jiwa yang belum siap menerimanya.
- Allah tidak akan melapangkan rezeki apabila kelapangan itu justru berpotensi merusak hamba-Nya.
Inilah alasan mengapa ikhtiar bukan sekadar aktivitas fisik atau kerja keras, tetapi sebuah proses pemurnian, pendewasaan, dan penyelarasan jiwa. Ikhtiar adalah pintu kesiapan, bukan alat pemaksa takdir.
Di sinilah sedekah memainkan peranan yang sangat penting.
Sedekah bukan hanya amalan sosial, tetapi sebuah proses spiritual yang mendewasakan jiwa. Ia meluaskan hati, mengikis keterikatan pada harta, dan membuka ruang dalam diri untuk menerima aliran karunia Allah. Sedekah adalah bukti bahwa manusia tidak terbelenggu oleh dunia, melainkan berperan sebagai pengalir kebaikan di muka bumi.
Ketika seseorang bersedekah, ia sedang menyelaraskan dirinya dengan sifat Allah yang tak terbatas. Semakin seseorang mengalirkan hartanya dalam bentuk sedekah, semakin ia tersambung dengan keluasan sifat Allah, dan semakin lapang pula pintu rezeki yang dibukakan baginya. Bukan karena ia “membeli” rezeki dengan sedekah, tetapi karena sedekah menjadikan hatinya mampu menerima lebih banyak tanpa rusak.
Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan:
Rezeki memang sudah ditetapkan. Tetapi penetapan itu bersifat luas, tidak terbatas seperti sifat Tuhan. Sementara ikhtiar adalah jalan untuk menjadikan jiwa siap menerima ketetapan itu. Dan sedekah, puncak tertinggi dari pemurnian jiwa, adalah bukti kelapangan hati untuk menjadi bagian dari aliran rezeki Tuhan di dunia.
Rezeki bukan sekadar tentang apa yang kita dapatkan, tetapi tentang seberapa layak hati kita untuk menerimanya. Dan ikhtiar, terutama melalui sedekah, adalah proses untuk melayakkan diri kita di hadapan-Nya.










