November ini rasanya Tuhan memberi kabar dan kita harus mengambil ibrah. Bulan November, Semacam bulan khusus untuk menguji kesabaran, ketelitian, dan pengeluaran. Di awal akhir, negara ini sudah heboh gara-gara satu tumbler. Yes, tumbler. Benda yang kalau jatuh bunyinya teng, dan kalau hilang cuma nyesek sebentar terus beli baru. Tapi di tangan netizen, tumbler bisa berubah jadi tragedi nasional.
Ceritanya ada mbak-mbak yang posting soal tumbler-nya yang entah tertinggal atau terlewat di stasiun atau di dalam kereta. Lalu, seperti biasa, netizen langsung berubah jadi tim detektif gabungan KPK-FBI-CSI. Petugas KAI pun akhirnya memberikan cctv, dengan standar operasional yang sudah benar, karena sudah viral dan tumbler tidak ketemu akhirnya petugas tersebut dipecat. Sorenya, plot twist, si mbak pengadu juga ikut kena imbas dipecat juga, perusahaan tempatnya bekerja mengelus dada sambil bilang, efek dari netizen yang merasa iba dan pro petugas tersebut
Dalam satu hari, dua orang kena PHK gara-gara satu tumbler. Kalau bukan negara +62, mana mungkin hal semacam itu bisa terjadi?
Di tengah heboh tumbler se-Indonesia itu, saya sedang menghadapi tragedi personal, dua pasang sepatu anak hilang dalam waktu tiga hari. Saya sampai merasa sedang berada di sinetron religi versi ekonomi keluarga kecil. Yang pertama hilang di pondok, entah ketuker atau ditinggal. Kami menunggu seminggu, akhirnya anak kami dibantu tim security untuk membuka cctv, alhamdulillah ada santri lain yang meminjami sepatu anak saya, tapi ya malu juga anak saya minjem mulu. Akhirnya kami kirim sepatu baru.
Belum sempat merayakan “krisis sepatu satu selesai”, eh anak kedua kehilangan sepatu saat tahfidz. Masya Allah tabarakallah… apakah ini temanya November? Bulan Kasih Sepatu?
Saking capeknya, sempat kepikiran ide paling tidak dewasa yang mungkin dimiliki orang dewasa modern: “Viral-kan aja nggak sih?”
Maklum, sudah banyak contoh di Instagram dan TikTok. Hilang dompet viral. Dapat pelayanan kurang sip viral. Kucing tetangga nyuri ikan juga kadang viral. Jadi kok rasanya hilang sepatu di pondok juga lumayan kalau diposting. Siapa tahu trending? Siapa tahu kepala sekolah mendadak minta maaf nasional, guru piket bikin konferensi pers, dan seantero pesantren pasang poster besar bertuliskan “Hati-Hati, Sepatu Mudah Hilang”.
Tapi untungnya akal sehat saya muncul sebelum jari saya menulis caption dramatis. Sebelum saya benar-benar mengetik: “Anak saya kehilangan sepatu di pondok. Mohon viralkan.”
Begini ya, kalau dipikir-pikir… masa iya satu sekolah harus geger cuma gara-gara sepatu? Guru-guru itu kan bukan malaikat penjaga rak sepatu. Mereka ngurus ratusan anak, ngatur jadwal belajar, memastikan anak-anak makan, ngaji, tidur teratur. Masa saya tega bikin riuh satu institusi cuma karena anak saya kurang teliti?
Dan saya teringat kembali pada kasus tumbler yang viral itu. Betapa sebuah hal kecil bisa berdampak sangat besar ketika dibawa ke ruang publik. Yang awalnya mungkin cuma kelalaian sepele, berubah menjadi drama panjang yang memakan korban di dua sisi. Netizen bergerak tanpa rem, perusahaan ikut-ikutan, dan akhirnya semua orang sibuk mencari siapa yang paling salah. Hidup sudah cukup rumit tanpa harus menambah level drama karena satu unggahan.
Lalu saya sadar: mungkin Tuhan memang lagi memberi pelajaran lewat dua kejadian ini, tumbler nasional dan sepatu keluarga. Pelajarannya simpel: tidak semua hal pantas dijadikan headline, apalagi viral.
Ada hal yang cukup diselesaikan dengan:
- beli sepatu baru,
- ngomong baik-baik ke pihak pondok,
- dan mengelus dada sambil bilang, “Yowislah, dunia belum kiamat.”
Lagi pula, hilang sepatu itu bukan tragedi moral. Anak-anak pun perlu belajar tentang tanggung jawab. Mereka perlu merasakan sedikit pedihnya kehilangan supaya besok-besok lebih hati-hati. Kalau setiap masalah langsung saya viralkan, apa mereka akan tumbuh jadi anak yang cekatan atau justru generasi yang hobi melempar masalah ke publik lebih cepat daripada mereka mengikat tali sepatu?
Saya juga membayangkan masa depan, kalau saya heboh gara-gara sepatu, apa kata guru? Apa kata tetangga? Apa kata netizen yang suka bilang, “Gitu doang lebay”? Saya tidak sanggup menghadapi drama tambahan seperti itu. Hidup sudah cukup penuh cicilan dan kenaikan harga rice cooker, tak perlu ditambah gonjang-ganjing media sosial.
Dan begitulah saya akhirnya mengambil keputusan paling bijak yang bisa diambil manusia modern, tidak posting apa-apa.
Saya hanya beli sepatu, nasihati anak-anak pelan-pelan, dan menikmati ketenangan dari tidak terlibat keributan online.
Kadang kebijaksanaan serta ibrah hidup datang dari hal remeh yakni tumbler yang viral, sepatu yang hilang, dan godaan untuk menjadi warga +62 yang reaktif. Tapi dari semua itu saya belajar bahwa menjadi dewasa itu bukan cuma soal membayar token listrik tepat waktu. Tetapi dewasa juga berarti tahu kapan harus diam, kapan harus tertawa, dan kapan harus membiarkan masalah kecil tetap kecil.
Karena pada akhirnya, tidak semua hal harus menjadi konten. Dan tidak semua kehilangan perlu diganti dengan kemarahan. Kadang, cukup diganti dengan sepatu baru dan hati yang lebih sabar.













