Konsep second chance at education atau kesempatan kedua dalam pendidikan telah lama menjadi salah satu keunggulan Amerika Serikat. Ide dasarnya sederhana tetapi sangat manusiawi, tidak semua orang menemukan tujuan hidupnya di usia muda, dan tidak semua perjalanan karier berjalan lurus. Karena itu, pintu pendidikan seharusnya selalu terbuka kapan pun seseorang siap untuk melangkah. Konsep ini bukan hanya teori; ia hidup dan terlihat nyata dalam banyak contoh figur publik dunia. Seorang mahasiswa Indonesia pernah mengungkapkan kegelisahannya kepada seorang profesor di Amerika karena merasa “terlambat” di usia 25 tahun. Namun sang profesor menenangkan, menjelaskan bahwa di Amerika, tidak ada kata terlambat. Sistem second chance memungkinkan orang yang pernah berhenti kuliah untuk kembali, memungkinkan orang usia 40–50 tahun untuk mengganti jurusan, bahkan memulai profesi baru. Pendidikan dipandang sebagai proses seumur hidup, bukan fase yang hanya berlaku di usia muda.
Fenomena kesempatan kedua ini juga tampak jelas dalam dunia hiburan internasional. Jennifer Lopez, atau J.Lo, misalnya, tiba-tiba mengejutkan banyak orang ketika memperoleh gelar PGA, yaitu keanggotaan Producers Guild of America. Ia tidak hanya dikenal sebagai penyanyi atau aktris, tetapi kini juga sebagai produser film profesional. Salah satu karyanya yang terbaru adalah film Atlas di Netflix, sebuah film bergenre kecerdasan buatan (AI) yang memperlihatkan bahwa J.Lo tidak takut mengeksplorasi bidang kreatif baru. Di sisi lain, Jared Leto seorang musisi utama dari band 30 Seconds to Mars, mengukuhkan dirinya sebagai figur multitalenta. Selain tetap aktif bermusik, ia diam-diam terjun sebagai produser sekaligus aktor utama dalam film Tron: Ares, yang juga mengangkat tema AI. Menariknya, dua musisi dari latar belakang berbeda itu sama-sama menghasilkan karya film bertema kecerdasan buatan, ini menunjukkan bahwa eksplorasi karier tidak mengenal batas profesi. Ketika seseorang diberi ruang untuk belajar ulang, kemampuan mereka dapat meluas melampaui identitas awalnya.
Fenomena ini tidak berhenti di Amerika saja. Di Eropa, konsep serupa juga tampak dalam perjalanan para musisi besar. Seperti Adele, seorang diva internasional. kini Adele memilih fokus kuliah jurusan sastra Inggris dan vakum sejenak dari dunia permusikan. Bagi sebagian orang, ini terdengar lucu, seorang penyanyi besar yang memilih kembali menjadi mahasiswa seperti orang biasa. Namun bila dipahami lebih dalam, langkah Adele justru menunjukkan bahwa minat seseorang bisa berkembang di usia matang. Mungkin kelak ia menjadi dosen, mungkin tidak. Yang jelas, pendidikan bukan sesuatu yang memalukan ketika ditempuh pada usia dewasa. Ini justru menjadi ruang untuk memperdalam diri, memperluas sudut pandang, dan menemukan jati diri baru.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia menerapkan konsep second chance education seperti ini? Secara budaya, Indonesia masih memiliki tantangan. Banyak masyarakat memegang pandangan bahwa jalur hidup yang “benar” adalah lulus SMA, masuk kuliah di usia 18 tahun, lalu bekerja. Ketika seseorang ingin kuliah di usia 30–40 tahun, sering muncul rasa malu atau takut dianggap gagal. Stigma ini membuat banyak orang ragu mengejar kembali pendidikan, meskipun sebenarnya mereka sangat membutuhkan peningkatan kompetensi. Selain stigma, faktor ekonomi juga menjadi hambatan. Pendidikan tinggi di Indonesia, terutama di perguruan tinggi swasta, dapat menjadi beban yang cukup besar bagi pekerja dewasa yang sudah berkeluarga.
Namun dibalik tantangan itu, Indonesia sebenarnya punya peluang besar. Kebutuhan upskilling dan reskilling kini meningkat seiring perubahan ekonomi dan digitalisasi. Perusahaan mencari pekerja yang mampu beradaptasi, dan pekerja dewasa menyadari bahwa mereka harus memperbarui kemampuan untuk tetap relevan. Selain itu, perkembangan pendidikan daring, kelas hybrid, program sertifikasi singkat, hingga kursus berbasis kompetensi menjadi akses baru yang lebih fleksibel bagi orang dewasa. Generasi muda Indonesia juga semakin terbiasa dengan gagasan bahwa belajar tidak berhenti setelah mendapatkan gelar.
Untuk mewujudkan konsep second chance education, Indonesia dapat mengambil beberapa langkah penting. Pertama, menghapus stigma sosial tentang usia belajar melalui kampanye literasi publik. Menjadi mahasiswa pada usia 35 atau 45 harus dipandang sebagai hal yang wajar. Kedua, perguruan tinggi perlu menyediakan struktur pendidikan fleksibel seperti kelas malam, kelas akhir pekan, dan program pembelajaran campuran yang dapat diikuti pekerja. Ketiga, pemerintah dan industri harus menyediakan skema pembiayaan khusus untuk pekerja dewasa. Keempat, program pendidikan harus diselaraskan dengan kebutuhan nyata dunia kerja sehingga orang yang kembali belajar memperoleh manfaat praktis. Kelima, Indonesia dapat mengadopsi sistem pengakuan pengalaman kerja menjadi kredit akademik, seperti yang dilakukan banyak negara maju.
Dengan perubahan kebijakan dan pergeseran mindset, Indonesia bukan hanya bisa mengadopsi konsep second chance education, tetapi sebenarnya membutuhkannya. Dunia kerja berubah cepat, teknologi berkembang pesat, dan minat manusia tidak statis. Jika J.Lo bisa menjadi produser film AI, jika Jared Leto bisa menjalani dua dunia sekaligus, dan jika Adele bisa kembali menjadi mahasiswa, maka orang Indonesia pun harus diberi kesempatan yang sama. Pendidikan tidak boleh menjadi pintu yang tertutup setelah usia muda. Ia harus menjadi jalan yang selalu dapat kita pilih kembali, setiap kali kita siap menjadi versi diri yang lebih matang.











