• Kabar
  • Fakta Islam
  • Kajian
  • Opini
  • Sejarah
  • Fakta Unik

Topik Populer

  • Palestina
  • Dakwah
  • Perang Dagang

Ikuti kami

  • 12.8k Fans
  • 1.3k Followers
  • 2.4k Followers
  • 7.1k Subscribers
Pasmu
No Result
View All Result
  • Login
No Result
View All Result
KONTRIBUSI
ArtMagz
No Result
View All Result
  • Login
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Kabar
  • Kajian
  • Opini
  • Sejarah
  • Fakta Islam
  • Khutbah
Home Opini

Runtuhnya Masjid Pondok Pesantren Al Khoziny: Tragedi yang Mengingatkan Kita pada Hal-Hal yang Terlupakan

Marjoko oleh Marjoko
3 menit yang lalu
in Opini
0
foto: shutterstock

foto: shutterstock

0
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter
[post-views]

Saya tidak pernah menyangka kabar runtuhnya masjid Pondok Pesantren Al Khoziny akan menyebar begitu cepat di media sosial. Hanya dalam hitungan menit setelah kejadian, foto dan video beredar luas, jamaah serta santri berlarian menyelamatkan diri, puing-puing bangunan bertebaran, dan kepanikan begitu terasa. Bagi saya pribadi, masjid adalah tempat yang paling aman, tempat yang seharusnya menghadirkan ketenangan. Maka, melihat rumah ibadah justru runtuh dan membahayakan jamaah terasa begitu ironis.

Sebagai wali santri, saya tahu persis betapa pentingnya masjid dalam kehidupan pesantren. Ia bukan hanya tempat shalat berjamaah, tetapi juga ruang belajar, diskusi, bahkan titik temu sosial di antara santri. Masjid adalah jantung pesantren. Runtuhnya masjid berarti seakan-akan denyut kehidupan itu terhenti sejenak. Karena itu, tragedi ini bukan sekadar ambruknya sebuah bangunan fisik, tetapi juga menyisakan luka psikologis mendalam bagi santri maupun masyarakat di sekitarnya.

Lebih dari Sekadar Knstruksi yang Rapuh

Mudah sekali bagi kita menunjuk alasan teknis, mungkin kualitas material yang kurang baik, mungkin kesalahan desain, atau mungkin karena faktor usia bangunan. Tetapi jika berhenti pada alasan teknis semata, kita akan melewatkan pelajaran yang lebih besar.

Fenomena runtuhnya masjid Al Khoziny sebenarnya membuka mata kita tentang bagaimana rumah ibadah sering dibangun di negeri ini. Semangat membangunnya biasanya luar biasa. Jamaah bergotong royong mengumpulkan dana, para dermawan menyumbang, dan panitia pembangunan bergerak cepat. Namun, sayangnya, antusiasme itu tidak selalu diimbangi dengan perencanaan yang matang. Banyak masjid dibangun dengan lebih menekankan pada estetika seperti kubah megah, kaligrafi indah, lampu gantung berkilau akan tetapi abai pada aspek fundamental yaitu kekokohan struktur dan keselamatan jamaah.

Related Post

No Content Available

Padahal, semegah apapun masjid, kalau pondasinya rapuh, ia hanya menunggu waktu untuk menghadirkan bencana. Di sinilah tragedi runtuhnya masjid menjadi pengingat, bahwa membangun rumah Allah tidak bisa hanya dengan semangat spiritual, tetapi juga dengan ilmu pengetahuan dan perhitungan yang matang.

Santri Kehilangan Pusat Kehidupan

Bagi para santri Pondok Pesantren Al Khoziny, masjid bukan sekadar ruang untuk beribadah. Ia adalah ruang belajar, tempat menghafal Al-Qur’an, bahkan kadang menjadi ruang untuk sekadar mengistirahatkan pikiran. Di sinilah mereka ditempa bukan hanya secara intelektual, tetapi juga spiritual.

Runtuhnya masjid membuat santri kehilangan pusat kehidupannya. Tidak bisa lagi shalat berjamaah dengan khusyuk, tidak bisa lagi mengaji bersama-sama dengan nyaman, bahkan sebagian mungkin masih dihantui rasa takut dan trauma saat mengingat detik-detik bangunan itu runtuh. Bagi masyarakat sekitar pun, masjid adalah simbol kebersamaan. Ketika bangunan itu roboh, rasa kehilangan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional. Seakan-akan, sebagian jiwa komunitas itu ikut roboh bersama bangunan yang hancur.

Inovasi Tanpa Kesiapan adalah Bumerang

Kalau kita melihat lebih jauh, tragedi runtuhnya masjid juga bisa dibaca dalam konteks yang lebih luas, tentang hubungan antara inovasi dan kesiapan. Di era modern, kita sering bersemangat dengan gagasan baru, pembangunan cepat, atau proyek yang dikerjakan secara instan. Tapi, kalau tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia, hasilnya bisa kontraproduktif.

Membangun masjid memang harus dengan niat tulus, tetapi niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan keterlibatan ahli konstruksi, arsitek, dan insinyur yang benar-benar paham bagaimana membangun dengan aman. Harus ada kesadaran bahwa masjid bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi juga ruang publik yang harus menjamin keselamatan banyak orang. Tragedi ini seharusnya menjadi alarm bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan “asal jadi” atau “yang penting cepat berdiri.”

Momentum untuk Berubah

Kita bisa saja larut dalam kesedihan, tetapi akan jauh lebih bijak kalau tragedi ini dijadikan momentum untuk berubah. Sudah saatnya pengurus pesantren, takmir masjid, maupun masyarakat luas memandang pembangunan rumah ibadah dengan lebih serius. Jangan hanya fokus pada penampilan luar, tapi juga pada kualitas dalam. Jangan hanya terpukau pada megahnya kubah, tetapi lupa pada kokohnya pondasi.

Peristiwa ini juga mengingatkan kita bahwa setiap pembangunan harus melibatkan pihak yang tepat. Kalau membangun masjid, libatkan arsitek dan insinyur. Kalau membangun gedung belajar, libatkan perencana pendidikan. Semangat gotong royong dan keikhlasan memang penting, tetapi profesionalisme tidak boleh ditinggalkan.

Lebih dari sekadar Bangunan

Pada akhirnya, masjid memang hanya sebuah bangunan fisik. Ia bisa berdiri, bisa pula runtuh. Tetapi semangat beribadah jamaah, iman para santri, dan keyakinan umat jauh lebih kokoh daripada bangunan manapun. Justru di titik inilah tragedi ini bisa menjadi pengingat, iman yang kuat tidak boleh diletakkan di atas pondasi yang rapuh.

Runtuhnya masjid Al Khoziny memang menyedihkan. Namun, kalau kita bisa mengambil pelajaran, maka peristiwa ini tidak hanya akan dikenang sebagai tragedi, melainkan sebagai titik balik. Titik balik untuk lebih berhati-hati, lebih peka, dan lebih menghargai rumah ibadah sebagai simbol sekaligus sarana keselamatan umat.

Karena sejatinya, masjid yang kokoh bukan hanya soal kubah dan dinding yang berdiri tegak, tetapi juga soal kesadaran kolektif kita untuk menjaganya. Kalau kesadaran itu tumbuh, maka meskipun bangunan pernah runtuh, semangat jamaah tidak akan pernah runtuh.

Donation

Buy author a coffee

Donate
Topik: masjidtragedi
ShareTweetShare
Marjoko

Marjoko

Related Posts

No Content Available

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Pentingnya Ta’awun dalam Kebaikan dan Takwa

3 Oktober 2025
Gambar Ilustrasi AI

Parkir Sembarangan di Depan Rumah, Masalah Sepele Bikin Sakit Hati

3 Oktober 2025
foto: shutterstock.com

Lebih Penting Mana Attitude atau Skill ?

3 Oktober 2025

Evaluasi Diri dan Lingkungan: Refleksi Pengajian Ustadz Umar Effendi

3 Oktober 2025
foto: shutterstock

Runtuhnya Masjid Pondok Pesantren Al Khoziny: Tragedi yang Mengingatkan Kita pada Hal-Hal yang Terlupakan

4 Oktober 2025
Gambar Ilustrasi AI

Parkir Sembarangan di Depan Rumah, Masalah Sepele Bikin Sakit Hati

3 Oktober 2025

Pentingnya Ta’awun dalam Kebaikan dan Takwa

3 Oktober 2025
foto: shutterstock.com

Lebih Penting Mana Attitude atau Skill ?

3 Oktober 2025

© 2025 PasMu - Media Pencerahan

Navigate Site

  • Home
  • Privacy Policy
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

PasMU cerdas

PasMU Cerdas adalah kecerdasan buatan (AI) yang siap membantu kamu menjawab pertanyaan seputar Islam. Tapi perlu diketahui bahwa jawaban yang kami berikan belum tentu 100% benar.

No Result
View All Result
  • Kabar
  • Kajian
  • Opini
  • Sejarah
  • Fakta Islam
  • Khutbah

© 2025 PasMu - Media Pencerahan