Demonstrasi selalu menjadi panggung terbuka, tempat rakyat menyalurkan aspirasi, namun sekaligus rawan disusupi oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi. Dalam konteks aksi unjuk rasa Agustus 2025, isu mengenai adanya provokator kembali mencuat. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang diuntungkan jika sebuah demonstrasi yang semula damai tiba-tiba berubah menjadi rusuh dan merusak?
Provokator sejati biasanya bekerja dengan cara yang halus, lembut, bahkan nyaris tak terlacak. Mereka tidak datang dengan wajah garang, melainkan menyusup, berbaur, dan pada saat tertentu menyalakan api yang bisa menjalar ke mana-mana. Ada kalanya mereka justru sengaja menampakkan diri secara terang-terangan agar mudah dilacak, seolah-olah memberi “bukti instan” yang mengarahkan publik pada satu institusi atau kelompok tertentu. Pertanyaannya: apakah kemunculan yang terlalu mencolok itu memang bentuk kelalaian, atau justru strategi canggih untuk mengalihkan perhatian?
Ambil contoh tentang seseorang yang berkamuflase menjadi pengemudi ojek online (ojol). Jika hanya sekadar mengenakan jaket hijau, menempel stiker, lalu nimbrung ke dalam barisan massa, jelas itu strategi yang dangkal. Semua orang bisa membaca penyamarannya. Namun, provokasi yang benar-benar profesional tentu lebih rapi: ia mendaftarkan diri menjadi ojol resmi, sempat mangkal, bahkan benar-benar menarik penumpang. Dengan demikian, ketika ia tertangkap atau “menyerahkan diri,” klaimnya sebagai ojol otentik sulit terbantahkan. Pada titik ini, penyamaran bukan lagi sekadar atribut, melainkan sebuah peran yang diperankan secara total.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa dalam politik, intelijen, maupun permainan kuasa, tidak ada gerakan yang benar-benar polos. Setiap aksi bisa saja memiliki motif tersembunyi. Seseorang bisa saja tampak membodohkan diri di depan publik, padahal ia sedang menyusun langkah jangka panjang untuk menjatuhkan pihak tertentu. Ada pula yang tampil sebagai loyalis garis keras, namun sebenarnya sekadar menjalankan misi untuk menghancurkan orang atau institusi yang ia bela dari dalam. Semua kemungkinan ini membuat publik harus lebih cerdas membaca tanda-tanda.
Ketika demonstrasi rusuh terjadi, masyarakat sering kali langsung menunjuk hidung: siapa yang salah? siapa yang merusak? siapa yang membakar? Namun jawaban yang muncul sering kali hanya menyentuh permukaan. Sementara itu, dalang yang sesungguhnya justru bersembunyi rapat di balik layar. Kita terjebak pada sosok-sosok yang ditampilkan ke depan, yang mungkin hanyalah pion dalam permainan politik yang lebih besar.
Opini ini bukan hendak menuduh siapa pun secara spesifik. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan agar publik lebih kritis dan tidak mudah terkecoh oleh narasi yang cepat diproduksi, apalagi di era media sosial yang begitu deras. Jangan-jangan, yang terlihat seperti pelaku, hanyalah wayang; sementara dalangnya masih nyaman duduk di kursi penonton, menunggu hasil dari skenario yang ia tulis sendiri.
Pada akhirnya, harapan terbesar kita adalah agar segala sesuatu bisa terungkap secara terang benderang. Siapa pun yang benar-benar menjadi penjahat, apakah ia provokator bayaran, penyusup profesional, atau justru pihak yang sengaja ingin mengorbankan institusi tertentu, semoga dapat disibak tabirnya. Karena keadilan yang hakiki hanya bisa lahir dari kebenaran yang tidak lagi ditutupi.