Dalam percakapan masyarakat Muslim, topik mengenai perempuan yang berkarya di ruang publik kerap menjadi perbincangan yang tak kunjung selesai. Di satu sisi, ada kekhawatiran terhadap pergeseran nilai-nilai moral dan peran kodrati; di sisi lain, ada kesadaran bahwa perempuan adalah makhluk merdeka yang memiliki potensi besar untuk berkontribusi di tengah masyarakat. Islam sebagai agama yang sempurna tak pernah mengingkari kemampuan perempuan untuk aktif di luar rumah, selama dilakukan dengan adab dan nilai yang terjaga.
Sejak awal Islam hadir, perempuan memiliki tempat terhormat dalam kehidupan publik. Sayyidah Khadijah binti Khuwailid adalah contoh paling nyata dari sosok perempuan mandiri, sukses dalam dunia niaga, dan tetap menjadi istri yang mulia serta mendukung dakwah Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW memuji kecerdasan dan keanggunannya dalam berdagang dan bermuamalah.
Sementara itu, Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha dikenal luas sebagai ilmuwan Muslimah pertama yang menjadi rujukan para sahabat. Beliau meriwayatkan lebih dari 2000 hadis dan menjadi guru bagi banyak sahabat dan tabiin. Maka, bagaimana mungkin Islam meminggirkan peran perempuan, jika dua sosok penting dalam sejarah Islam justru begitu aktif dan dihormati dalam kehidupan publik?
Hati-hati dalam Menilai, Jangan Mudah Menghakimi
Seringkali yang menjadi masalah bukanlah ajaran Islam itu sendiri, tetapi cara sebagian orang memahaminya. Ada yang terlalu sempit menafsirkan bahwa perempuan sebaiknya hanya berada di rumah, tanpa mempertimbangkan konteks zaman dan kondisi sosial. Ada pula yang terlalu bebas hingga lupa akan batas-batas etika Islam yang harus dijaga oleh setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan.
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nahl: 97:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik…”
Ayat ini jelas menegaskan bahwa kebaikan, amal, dan kemuliaan tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Islam memberikan ruang yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk berbuat dan memberi kontribusi dalam masyarakat. Namun tentu, ada batasan dan prinsip moral yang tak boleh diabaikan yaitu menjaga kehormatan diri, tidak ber-tabarruj, dan tidak menyalahi fitrah kemanusiaan sebagai perempuan.
Etika dan Tanggung Jawab Perempuan di Ranah Publik
Bekerja atau berkontribusi di ruang publik bukanlah sebuah pelanggaran, selama niat, cara, dan tujuannya selaras dengan nilai-nilai Islam. Dalam realitas modern, banyak perempuan yang menjadi guru, dokter, dosen, ilmuwan, bahkan pemimpin. Peran ini bukan untuk menggantikan posisi laki-laki, tapi untuk saling melengkapi dan membangun peradaban bersama.
Salah satu hal terpenting adalah niat. Seorang perempuan yang bekerja untuk membantu keluarga, mendidik umat, atau menyebarkan ilmu, adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka ketika niat seorang perempuan untuk bekerja dilandasi oleh ibadah, bukan semata-mata karier atau gengsi, maka itu sudah menjadi ladang pahala. Tentu saja, etika berpakaian, menjaga interaksi, dan mengutamakan keselamatan tetap menjadi prioritas. Islam mengajarkan adab dalam setiap aktivitas. Allah tidak melarang perempuan tampil di ruang publik, tetapi mewajibkan untuk menjaga kemuliaan dan marwah.
Antara Tradisi, Budaya, dan Tuntutan Kehidupan
Tak dapat dimungkiri, dalam masyarakat kita masih ada benturan antara tradisi lama dengan realitas sosial modern. Sebagian orang masih memandang bahwa perempuan yang terlalu aktif di luar rumah adalah perempuan “tidak patuh”, atau bahkan dicap melawan kodrat. Padahal, kodrat adalah sesuatu yang tetap dan tidak bisa berubah, seperti haid, hamil, menyusui. Sedangkan “peran sosial” adalah hal yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman dan kapasitas personal seseorang.
Kita perlu bijak membedakan antara nilai agama dan budaya. Tidak semua budaya itu buruk, tapi tidak semua juga bisa dijadikan standar kebenaran. Apa yang sesuai di masa lalu, belum tentu relevan di masa kini. Jika Islam tidak pernah menutup pintu bagi perempuan untuk maju, maka hendaknya kita pun tidak menutup potensi mereka dengan dalih-dalih yang sempit.
Dalam konteks modern, peran perempuan tidak bisa dibendung. Dunia pendidikan, kesehatan, sosial, bahkan dakwah juga banyak yang digerakkan oleh tangan-tangan lembut perempuan. Maka, membatasi secara mutlak bukanlah solusi, melainkan bisa jadi bentuk kezaliman terselubung yang justru menghalangi kebaikan.
Ruang Publik Milik Bersama, dengan Adab dan Amanah
Perempuan dan laki-laki adalah mitra dalam kehidupan. Mereka saling melengkapi, bukan saling mengungguli. Maka dalam membangun masyarakat Islami, perempuan pun harus diberi ruang untuk berkarya dan berkontribusi, tentu dengan menjaga nilai dan batasan syar’i.
Jangan cepat menuduh atau menyalahkan hanya karena melihat perempuan aktif di luar rumah. Sebaliknya, mari membangun ekosistem yang aman dan Islami agar mereka dapat menjalankan peran ganda dengan bahagia: sebagai penggerak keluarga dan juga agen perubahan di masyarakat.
Satu hal yang perlu diingat bahwa Allah tidak menilai dari tempat kita berada, tapi dari niat, amal, dan bagaimana kita menjaga diri dalam setiap keadaan. Maka, selama perempuan bisa menjaga marwah, akhlak, dan menjadikan aktivitasnya sebagai bentuk ibadah, maka ruang publik bukanlah tempat yang haram baginya tetapi justru bisa menjadi ladang pahala yang luas. Semoga kita semua, laki-laki dan perempuan, diberi kekuatan untuk menjalani hidup dengan penuh keberkahan, kesetaraan dalam kebaikan, dan keberanian untuk saling menghormati dalam perbedaan.