Selama satu abad terakhir, pendidikan di berbagai negara tumbuh dengan satu cita-cita besar yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun di balik cita-cita luhur itu, tersimpan pola lama yang jarang disadari banyak orang. Sistem pendidikan modern yang kini menjadi arus utama sejatinya dibangun bukan untuk mencetak pemimpin atau pengusaha, melainkan untuk mencetak pekerja.
Sejarah mencatat bahwa pada masa Revolusi Industri di Amerika Serikat, para pemilik modal besar seperti John D. Rockefeller memiliki kepentingan besar terhadap sistem pendidikan. Rockefeller, seorang pengusaha minyak tersukses pada zamannya, disebut-sebut menghadapi kesulitan mencari pekerja yang disiplin dan patuh terhadap aturan pabrik. Maka, lahirlah sistem sekolah modern yang terstruktur, kaku, dan berorientasi pada kepatuhan. Sekolah menjadi tempat membentuk karakter pekerja, datang tepat waktu, duduk rapi, mengikuti instruksi, serta tunduk pada sistem yang sudah ditentukan.
Pola tersebut bertahan dalam satu abad terakhir kemudian dan diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Tak heran jika sebagian besar siswa tumbuh dengan pola pikir yang sama yaitu sekolah, kuliah, lalu mencari pekerjaan. Sangat sedikit yang berpikir untuk membuka usaha atau menciptakan lapangan kerja. Kurikulum pun banyak menekankan pada hafalan dan ujian, bukan pada kreativitas dan keberanian mengambil risiko. Akibatnya, lulusan sekolah banyak yang cemerlang secara teori, namun ragu ketika harus memulai sesuatu dari nol.
Kondisi inilah yang kini mulai ditantang oleh berbagai lembaga pendidikan alternatif, salah satunya Pondok Pesantren Sekolah Entrepreneur Al-Ma’un (SPEAM) Muhammadiyah Kota Pasuruan. Lembaga ini hadir dengan semangat baru, mencoba mematahkan paradigma pendidikan lama yang berorientasi pada penciptaan pekerja. SPEAM menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju kemandirian, bukan ketergantungan.
SPEAM lahir dari keyakinan bahwa Islam sendiri menempatkan kemandirian ekonomi sebagai bagian dari ibadah. Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya adalah wirausahawan tangguh yang menjalankan bisnis dengan kejujuran dan keberanian. Berdasarkan nilai itu, SPEAM merancang pendidikan yang menanamkan nilai-nilai keislaman sekaligus semangat kewirausahaan. Para santri tidak hanya belajar membaca kitab, tetapi juga mempelajari bagaimana mengelola usaha, memahami pasar, dan membangun mental tangguh ketika menghadapi kegagalan.
Dalam kesehariannya, santri SPEAM dibimbing untuk mengembangkan potensi diri di berbagai bidang. Mereka diajak untuk memahami bahasa asing, mempelajari ilmu teknologi, serta mengasah keterampilan hidup atau life skill. Namun yang membedakan SPEAM dengan sekolah lain adalah pendekatan langsung terhadap dunia usaha. Di sini, santri bukan hanya mempelajari teori bisnis, tetapi juga menjalankan proyek usaha kecil sebagai bagian dari kurikulum. Mereka belajar mencari ide, merancang produk, memasarkan hasil, hingga menghitung keuntungan dan kerugian secara nyata.
Filosofi yang diusung oleh SPEAM sangat sederhana namun mendalam yaitu sekolah tidak boleh hanya mencetak pencari kerja, tetapi harus mencetak pencipta kerja. Kepala Sekolah SPEAM sering menyampaikan kepada santri bahwa menjadi pengusaha bukan berarti meninggalkan nilai-nilai agama. Justru, dalam Islam, bekerja keras dan mandiri merupakan bentuk ibadah yang tinggi nilainya.
SPEAM juga berusaha mengubah cara pandang terhadap kegagalan. Jika di banyak sekolah kegagalan dianggap aib, di SPEAM kegagalan justru dilihat sebagai bagian dari proses belajar. Santri diajarkan untuk tidak takut salah, berani mencoba, lalu memperbaiki diri. Budaya seperti ini menumbuhkan rasa percaya diri dan kemampuan berpikir kreatif, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam dunia nyata yang penuh ketidakpastian.
Selain menanamkan jiwa entrepreneur, SPEAM juga menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab sosial. Santri didorong untuk memahami bahwa menjadi pengusaha bukan hanya soal mencari keuntungan pribadi, tetapi juga soal memberi manfaat bagi masyarakat. Mereka belajar tentang etika bisnis, kejujuran dalam berdagang, serta pentingnya membangun usaha yang adil dan berkelanjutan.
Semangat ini sejalan dengan nilai-nilai Muhammadiyah yang menjadi dasar berdirinya SPEAM. Muhammadiyah sejak awal berdiri menekankan pentingnya kemandirian umat melalui pendidikan dan ekonomi. SPEAM menjadi wujud nyata dari cita-cita itu, menggabungkan ilmu agama, pengetahuan modern, dan semangat wirausaha dalam satu kesatuan pendidikan.
Prestasi para santri SPEAM pun menunjukkan bahwa pendidikan berbasis entrepreneur tidak mengurangi kualitas akademik. Salah satu santri bahkan berhasil meraih medali perunggu dalam kompetisi sains tingkat nasional. Ini membuktikan bahwa siswa dengan jiwa wirausaha justru mampu unggul dalam berbagai bidang karena terbiasa berpikir kreatif dan tidak takut menghadapi tantangan.
Langkah SPEAM ini menjadi contoh konkret bagaimana lembaga pendidikan dapat berperan dalam membalik arah sistem yang sudah berjalan ratusan tahun. Jika dulu pendidikan dirancang untuk melahirkan pekerja patuh, kini SPEAM berusaha melahirkan generasi mandiri yang berani mencipta dan memimpin.
SPEAM menjadi bukti bahwa pendidikan yang memadukan iman, ilmu, dan amal nyata bisa menghasilkan generasi yang tangguh secara spiritual sekaligus kuat secara ekonomi. Di tengah dunia yang berubah cepat, pendekatan seperti ini menjadi sangat relevan. Anak muda perlu dibekali bukan hanya dengan ijazah, tetapi juga dengan kemampuan berpikir kritis, semangat wirausaha, dan keberanian mengambil langkah pertama.
Jika semangat SPEAM dapat diikuti oleh lembaga-lembaga pendidikan lain, bukan tidak mungkin Indonesia akan memiliki generasi baru yang tidak hanya berlomba mencari pekerjaan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja untuk orang lain. Paradigma lama yang diwariskan sejak era Rockefeller perlahan akan tergantikan oleh paradigma baru: sekolah sebagai tempat melahirkan pemimpin, bukan pelaksana; pencipta, bukan sekadar pengikut.
Pondok Pesantren SPEAM Kota Pasuruan telah menunjukkan bahwa perubahan itu bukan utopia. Dengan mengintegrasikan nilai agama, ilmu pengetahuan, dan semangat kewirausahaan, SPEAM mematahkan rantai panjang pendidikan ala John D. Rockefeller dan membuka jalan baru bagi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih merdeka, produktif, dan berjiwa pengusaha.












