Kasus yang melibatkan Kiai Mim, dosen UIN Malang, dengan salah satu tetangganya yang memiliki usaha travel, sempat menjadi perbincangan hangat. Terlepas benar atau tidaknya persoalan yang berkembang, saya merasa ada sisi yang bisa kita tarik sebagai refleksi Bersama yaitu betapa hal yang dianggap “sepele” seperti parkir kendaraan bisa menimbulkan masalah besar dalam hubungan bertetangga. Istilahnya “sepele dadi sepuluh” dalam Bahasa Jawa.
Saya pribadi pernah mengalami hal yang hampir sama. Salah satu tetangga memiliki travel, dan kendaraan-kendaraan miliknya kerap parkir sembarangan di depan rumah saya. Kedengarannya sederhana, tetapi kenyataannya sangat mengganggu. Setiap kali saya hendak keluar rumah, saya tidak bisa langsung jalan. Saya harus mengetuk pintu rumah pemilik kendaraan, meminta dengan sopan agar mobil digeser. Anehnya, meski saya yang dirugikan, saya seringkali justru yang meminta maaf terlebih dahulu. Itu dilakukan demi menjaga hubungan baik, sekalipun hati saya kesal.
Dari pengalaman ini saya bisa memahami jika Kiai Mim juga merasakan hal serupa. Sebagai manusia biasa, wajar jika muncul rasa jengkel, apalagi jika persoalan parkir ini berlangsung berulang kali dan tidak ada iktikad baik dari pemilik kendaraan. Kita seringkali diajarkan untuk sabar, menahan amarah, dan mengedepankan musyawarah dalam bertetangga. Namun, sabar juga ada batasnya, terutama ketika hak dasar kita sebagai pemilik rumah, yaitu akses keluar-masuk terhalang oleh ketidakpedulian orang lain.
Masalah parkir memang terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan dua hal penting: kesadaran sosial dan etika bertetangga. Sebuah kendaraan tidak hanya benda mati yang berhenti di suatu titik, melainkan juga cermin sikap pemiliknya terhadap lingkungan sekitar. Jika parkir sembarangan sudah dianggap hal biasa, maka bukan tidak mungkin rasa saling menghormati antarwarga akan terkikis perlahan.
Di sisi lain, sikap kita yang berusaha tetap menjaga hubungan baik, meski sering dirugikan, juga menyimpan dilema. Di satu sisi kita ingin menegakkan hak, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran hubungan bertetangga menjadi renggang. Akibatnya, kita memilih jalur sabar, meski hati menggerutu. Persis seperti yang saya alami, meminta maaf padahal bukan saya yang salah.
Dari sini saya melihat perlunya kesadaran kolektif untuk menghormati ruang hidup orang lain. Pemerintah daerah mungkin bisa membuat aturan tegas terkait parkir, terutama bagi usaha-usaha travel atau angkutan yang menggunakan lahan perumahan. Namun yang lebih penting adalah kesadaran pribadi, jangan sampai mencari rezeki dengan cara yang membuat orang lain menderita.
Kasus Kiai Mim hendaknya menjadi cermin bagi kita semua. Bukan sekadar tentang siapa yang salah dan siapa yang benar, melainkan bagaimana kita menempatkan diri sebagai warga yang saling menghormati. Karena hubungan sosial di masyarakat dibangun bukan hanya dari hal-hal besar seperti gotong royong atau musyawarah desa, tetapi juga dari hal-hal kecil seperti tidak parkir sembarangan.
Akhirnya, saya percaya bahwa masalah sederhana seperti parkir bisa menjadi ladang ujian kesabaran, sekaligus ukuran kedewasaan kita dalam berinteraksi. Bila kita mampu menahan ego dan menumbuhkan rasa empati, maka konflik seperti yang menimpa Kiai Mim tidak perlu lagi terulang di lingkungan kita.