Dalam beberapa tahun terakhir, istilah work-life balance menjadi semacam mantra yang terus diulang-ulang di ruang kerja modern. Banyak yang menganggap keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah kunci kebahagiaan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, justru orang-orang yang terlalu terobsesi menjaga balance ini seringkali berakhir biasa-biasa saja. Mereka tampil standar di kantor, dan di luar kantor pun hidupnya tidak banyak meninggalkan jejak penting.
Padahal, jika kita menengok sejarah tokoh-tokoh besar seperti, ilmuwan, pengusaha, penulis, maupun pemimpin, mereka hampir selalu hidup dalam ketidakseimbangan. Hidup mereka dikuasai satu hal yaitu obsesi. Obsesilah yang membuat Thomas Edison rela melakukan ribuan percobaan gagal sebelum menemukan bola lampu. Obsesilah yang membuat Elon Musk bekerja nyaris tanpa henti membangun perusahaan yang mengguncang dunia.
Hal yang sama pernah disampaikan Rhenald Kasali. Ia dengan tegas mengatakan, “Still young already work life balance eh? Work-life balance itu haknya orang tua, kan? Kalau sudah umur 40-an, hati nggak kuat, umur 50-an gampang stres, ya memang harus ada keseimbangan. Tapi kalau umur 25? Harusnya kerja keras dulu, masih kuat untuk bertarung, berkompetisi, kerja sampai malam. Itu wajar di usia itu.”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa setiap fase kehidupan memiliki porsinya. Anak muda yang terlalu cepat mencari kenyamanan dengan dalih work-life balance justru melewatkan momentum emas untuk mengasah diri. Usia muda adalah waktu terbaik untuk memupuk obsesi, mencoba, jatuh, lalu bangkit lagi. Sebab ketika usia bertambah, kemampuan fisik dan mental tidak lagi sekuat sebelumnya.
Hidup tidak bisa dipisahkan menjadi kerja dan non-kerja. Hidup adalah satu kesatuan. Jika seseorang benar-benar ingin hasil yang berada di atas rata-rata, maka usaha yang dikeluarkan juga harus melampaui rata-rata. Itu berarti pengorbanan waktu, tenaga, bahkan kenyamanan pribadi.
Banyak orang gagal karena mereka takut disebut “aneh.” Mereka takut menjalani kehidupan yang berbeda dari orang kebanyakan. Padahal justru ketika orang lain menganggap kita berbeda, itu pertanda bahwa kita sedang melangkah ke jalur yang tidak berani ditempuh mayoritas. Jalur yang penuh risiko, tetapi juga penuh kemungkinan untuk melahirkan sesuatu yang besar.
Inilah makna obsesi. Bukan penyakit, bukan kutukan, melainkan bahan bakar yang membuat seseorang rela berpikir, bekerja, dan berjuang lebih keras dari orang lain. Obsesi adalah kondisi ketika sebuah tujuan mengisi hampir seluruh ruang pikir. Ketika sebuah mimpi terus berputar di kepala hingga seseorang tak bisa berhenti memikirkannya.
Memang benar, ada cerita banyak orang yang bekerja keras seumur hidup namun akhirnya tidak bahagia. Bahkan Rhenald Kasali menyinggung soal mentalitas generasi yang dulu menganggap kaya hanya bisa diraih lewat jalur PNS. “Dulu kalau jadi PNS bisa kaya, sekarang PNS justru kaya-kayanya dipantau KPK,” ujarnya. Itu artinya, obsesi pun harus disalurkan pada jalan yang tepat. Kerja keras tanpa arah hanya akan menjadi lelah.
Namun satu hal tetap jelas, dunia ini tidak diubah oleh orang-orang yang terlalu sibuk mencari keseimbangan. Dunia ini diubah oleh mereka yang berani hidup “tidak seimbang”, mereka yang berani memilih obsesi dibanding kenyamanan, demi mewujudkan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.