Di tengah era digital yang sarat informasi, dunia seperti tak pernah kehabisan suara. Media sosial, portal berita daring, kanal YouTube, hingga grup WhatsApp, semua menjadi ladang hiruk-pikuk.
Orang-orang berbicara, berteriak, menyampaikan pendapat, membagikan fakta atau yang tampak seperti fakta. Tapi, apakah semua suara itu benar-benar voice, atau sekadar noise?
Dalam kebebasan berekspresi yang diklaim sebagai inti demokrasi, jangan-jangan kita justru terjebak dalam distraksi massal. Demokrasi, sejak awal, menjanjikan ruang yang setara untuk berbicara.
Namun dalam praktik digitalnya hari ini, suara bukan lagi soal makna atau keberimbangan, tetapi soal siapa yang lebih keras, lebih sering, dan lebih disukai algoritma.
Ketika semua orang bersuara, siapa yang sebenarnya didengar? Apakah demokrasi benar-benar hidup, atau hanya menjadi panggung kebisingan yang tak terarah?
Distorsi Demokrasi di Era Digital
Platform digital yang awalnya digadang sebagai pemantik demokrasi kini justru menjadi arena pertarungan narasi yang tak sehat.
Kebebasan berbicara memang terbuka lebar, tapi tidak semua suara mendapatkan ruang yang sama. Algoritma media sosial bekerja berdasarkan engagement, bukan kebenaran.
Konten yang viral seringkali bukan yang paling benar, tetapi yang paling memancing emosi.Dalam kondisi seperti itu, voice yakni suara yang bermakna, bernalar, dan membawa nilai seringkali tenggelam oleh noise.
Opini yang lugas dan jernih tak lagi menarik jika tak menyulut kemarahan atau kecemasan. Muncullah budaya clickbait, penggiringan opini, dan polarisasi ekstrem.
Demokrasi pun berubah wujud: dari diskusi menjadi debat kusir, dari partisipasi menjadi pertikaian. Lebih jauh, masyarakat tidak hanya menjadi produsen noise, tetapi juga korban.
Kita dibombardir oleh informasi dari segala arah, hingga tak sempat menyaringnya. Dalam kondisi ini, publik kehilangan fokus terhadap isu-isu penting. Kebisingan membuat perhatian terpecah, dan perhatian yang terpecah membuat kontrol sosial terhadap kekuasaan melemah.
Inilah paradoks kebisingan dalam demokrasi: kebebasan berbicara yang berlebihan justru dapat melemahkan substansi demokrasi itu sendiri.
Krisis Makna dan Kebijakan yang Teredam
Di tengah gempuran noise, kebijakan publik yang bermutu sering luput dari perhatian. Isu-isu lingkungan, pendidikan, kesehatan mental, hingga ketimpangan ekonomi jarang viral karena tidak cukup sensasional.
Sementara topik-topik yang remeh atau bahkan palsu bisa menjadi perbincangan nasional hanya karena dibungkus secara emosional.
Ketika opini menjadi lebih penting daripada informasi, maka kebijakan mudah dibajak oleh persepsi. Ini berbahaya.
Dalam sistem demokrasi, kebijakan seharusnya lahir dari diskusi berbasis data, bukan dari suara terbanyak yang disetir oleh algoritma.
Namun hari ini, suara mayoritas di ruang maya seringkali bukan cerminan aspirasi publik sejati, melainkan hasil dari echo chamber dan manipulasi digital.Ironisnya, para pemangku kebijakan pun mulai tunduk pada noise.
Mereka lebih sibuk mengelola opini publik ketimbang menyusun solusi strategis. Popularitas menjadi ukuran keberhasilan, bukan kebermanfaatan.
Dalam konteks ini, voice para ahli, akademisi, dan pegiat sosial yang menyuarakan analisis jernih dan saran konstruktif, terpinggirkan.
Menjernihkan Suara, Membangun Kesadaran
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Apakah kita harus menyerah pada dominasi noise? Tentu tidak. Solusi tidak terletak pada membungkam suara, tetapi pada membangun ekosistem digital yang sehat. Salah satu langkah awal adalah mengembangkan budaya literasi media yang kuat.
Kita harus mulai mengenali dan memilah mana yang voice dan mana yang noise. Ini tidak sekadar soal mengecek fakta, tetapi juga melatih empati, kesadaran sosial, dan kerendahan hati untuk mau belajar.
Masyarakat harus dibiasakan membaca utuh, bukan sekadar judul. Bertanya sebelum membagi. Merenung sebelum berkomentar. Selain itu, platform digital harus didorong untuk lebih bertanggung jawab.
Algoritma yang hanya mengejar keterlibatan tanpa mempertimbangkan dampak sosial harus dikritisi. Negara pun perlu menghadirkan regulasi yang tidak membungkam, tetapi justru melindungi kebebasan berekspresi yang bermutu.
Bukan dengan sensor membabi buta, tetapi dengan edukasi dan penguatan kapasitas publik. Dan yang paling penting, kita perlu memberi ruang pada voice yang selama ini sunyi: suara kaum marginal, komunitas akar rumput, dan pemikir independen.
Demokrasi akan sehat jika suara yang didengar bukan hanya yang ramai, tapi juga yang relevan dan rasional.
Kembali pada Esensi Suara
Dalam dunia yang penuh dengan noise, tugas kita adalah kembali pada voice. Suara yang lahir dari refleksi, bukan reaksi. Suara yang membangun, bukan membakar.
Demokrasi yang sehat bukan tentang siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling jernih.
“Noise vs Voice: Demokrasi atau Distraksi?” bukan hanya pertanyaan retoris, tapi tantangan nyata. Kita hidup dalam zaman di mana setiap orang bisa berbicara, tapi belum tentu didengarkan.
Kita bisa dengan mudah berbagi, tapi belum tentu peduli. Maka mari kita tidak hanya menjadi penggema kebisingan, tapi penjernih peradaban.
Suara bukan sekadar hak, tapi juga amanah. Dan setiap amanah akan dimintai pertanggung jawabannya kelak.