• Kabar
  • Fakta Islam
  • Kajian
  • Opini
  • Sejarah
  • Video

Topik Populer

  • Palestina
  • Dakwah
  • Perang Dagang

Ikuti kami

  • 12.8k Fans
  • 1.3k Followers
  • 2.4k Followers
  • 7.1k Subscribers
Pasmu
No Result
View All Result
  • Login
No Result
View All Result
KONTRIBUSI
ArtMagz
No Result
View All Result
  • Login
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Kabar
  • Kajian
  • Opini
  • Sejarah
  • Fakta Islam
  • AUM
Home Opini

Noise vs Voice: Demokrasi atau Distraksi?

Nurul Mawaridah oleh Nurul Mawaridah
4 Juni 2025
in Opini
0
1
SHARES
2
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Di tengah era digital yang sarat informasi, dunia seperti tak pernah kehabisan suara. Media sosial, portal berita daring, kanal YouTube, hingga grup WhatsApp, semua menjadi ladang hiruk-pikuk.

Orang-orang berbicara, berteriak, menyampaikan pendapat, membagikan fakta atau yang tampak seperti fakta. Tapi, apakah semua suara itu benar-benar voice, atau sekadar noise?

Dalam kebebasan berekspresi yang diklaim sebagai inti demokrasi, jangan-jangan kita justru terjebak dalam distraksi massal. Demokrasi, sejak awal, menjanjikan ruang yang setara untuk berbicara.

Namun dalam praktik digitalnya hari ini, suara bukan lagi soal makna atau keberimbangan, tetapi soal siapa yang lebih keras, lebih sering, dan lebih disukai algoritma.

Related Post

Image Google

Kesinambungan Nilai Ibadah Qurban dan Implementasi Keadilan Sosial

4 Juni 2025

Haji Furoda, Bayar Lebih Belum Tentu Ber-Haji!

3 Juni 2025 - Updated On 4 Juni 2025

Literasi Digital sebagai Ibadah: Seruan Ketua PDM Kota Pasuruan untuk Membaca dan Menghargai Karya Dakwah

3 Juni 2025

Peduli Potensi Generasi Muda, PDPM Kota Pasuruan Sampaikan Aspirasi Ini ke Ketua DPRD

3 Juni 2025

Ketika semua orang bersuara, siapa yang sebenarnya didengar? Apakah demokrasi benar-benar hidup, atau hanya menjadi panggung kebisingan yang tak terarah?

Distorsi Demokrasi di Era Digital

Platform digital yang awalnya digadang sebagai pemantik demokrasi kini justru menjadi arena pertarungan narasi yang tak sehat.

Kebebasan berbicara memang terbuka lebar, tapi tidak semua suara mendapatkan ruang yang sama. Algoritma media sosial bekerja berdasarkan engagement, bukan kebenaran.

Konten yang viral seringkali bukan yang paling benar, tetapi yang paling memancing emosi.Dalam kondisi seperti itu, voice yakni suara yang bermakna, bernalar, dan membawa nilai seringkali tenggelam oleh noise.

Opini yang lugas dan jernih tak lagi menarik jika tak menyulut kemarahan atau kecemasan. Muncullah budaya clickbait, penggiringan opini, dan polarisasi ekstrem.

Demokrasi pun berubah wujud: dari diskusi menjadi debat kusir, dari partisipasi menjadi pertikaian. Lebih jauh, masyarakat tidak hanya menjadi produsen noise, tetapi juga korban.

Kita dibombardir oleh informasi dari segala arah, hingga tak sempat menyaringnya. Dalam kondisi ini, publik kehilangan fokus terhadap isu-isu penting. Kebisingan membuat perhatian terpecah, dan perhatian yang terpecah membuat kontrol sosial terhadap kekuasaan melemah.

Inilah paradoks kebisingan dalam demokrasi: kebebasan berbicara yang berlebihan justru dapat melemahkan substansi demokrasi itu sendiri.

Krisis Makna dan Kebijakan yang Teredam

Di tengah gempuran noise, kebijakan publik yang bermutu sering luput dari perhatian. Isu-isu lingkungan, pendidikan, kesehatan mental, hingga ketimpangan ekonomi jarang viral karena tidak cukup sensasional.

Sementara topik-topik yang remeh atau bahkan palsu bisa menjadi perbincangan nasional hanya karena dibungkus secara emosional.

Ketika opini menjadi lebih penting daripada informasi, maka kebijakan mudah dibajak oleh persepsi. Ini berbahaya.

Dalam sistem demokrasi, kebijakan seharusnya lahir dari diskusi berbasis data, bukan dari suara terbanyak yang disetir oleh algoritma.

Namun hari ini, suara mayoritas di ruang maya seringkali bukan cerminan aspirasi publik sejati, melainkan hasil dari echo chamber dan manipulasi digital.Ironisnya, para pemangku kebijakan pun mulai tunduk pada noise.

Mereka lebih sibuk mengelola opini publik ketimbang menyusun solusi strategis. Popularitas menjadi ukuran keberhasilan, bukan kebermanfaatan.

Dalam konteks ini, voice para ahli, akademisi, dan pegiat sosial yang menyuarakan analisis jernih dan saran konstruktif, terpinggirkan.

Menjernihkan Suara, Membangun Kesadaran

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Apakah kita harus menyerah pada dominasi noise? Tentu tidak. Solusi tidak terletak pada membungkam suara, tetapi pada membangun ekosistem digital yang sehat. Salah satu langkah awal adalah mengembangkan budaya literasi media yang kuat.

Kita harus mulai mengenali dan memilah mana yang voice dan mana yang noise. Ini tidak sekadar soal mengecek fakta, tetapi juga melatih empati, kesadaran sosial, dan kerendahan hati untuk mau belajar.

Masyarakat harus dibiasakan membaca utuh, bukan sekadar judul. Bertanya sebelum membagi. Merenung sebelum berkomentar. Selain itu, platform digital harus didorong untuk lebih bertanggung jawab.

Algoritma yang hanya mengejar keterlibatan tanpa mempertimbangkan dampak sosial harus dikritisi. Negara pun perlu menghadirkan regulasi yang tidak membungkam, tetapi justru melindungi kebebasan berekspresi yang bermutu.

Bukan dengan sensor membabi buta, tetapi dengan edukasi dan penguatan kapasitas publik. Dan yang paling penting, kita perlu memberi ruang pada voice yang selama ini sunyi: suara kaum marginal, komunitas akar rumput, dan pemikir independen.

Demokrasi akan sehat jika suara yang didengar bukan hanya yang ramai, tapi juga yang relevan dan rasional.

Kembali pada Esensi Suara

Dalam dunia yang penuh dengan noise, tugas kita adalah kembali pada voice. Suara yang lahir dari refleksi, bukan reaksi. Suara yang membangun, bukan membakar.

Demokrasi yang sehat bukan tentang siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling jernih.

“Noise vs Voice: Demokrasi atau Distraksi?” bukan hanya pertanyaan retoris, tapi tantangan nyata. Kita hidup dalam zaman di mana setiap orang bisa berbicara, tapi belum tentu didengarkan.

Kita bisa dengan mudah berbagi, tapi belum tentu peduli. Maka mari kita tidak hanya menjadi penggema kebisingan, tapi penjernih peradaban.

Suara bukan sekadar hak, tapi juga amanah. Dan setiap amanah akan dimintai pertanggung jawabannya kelak.

Donation

Buy author a coffee

Donate
Topik: dakwahDemokrasimuhammadiyah
ShareTweetShare
Nurul Mawaridah

Nurul Mawaridah

Related Posts

Image Google
Opini

Kesinambungan Nilai Ibadah Qurban dan Implementasi Keadilan Sosial

oleh Wildan Miftahul Ilmi
4 Juni 2025
Opini

Haji Furoda, Bayar Lebih Belum Tentu Ber-Haji!

oleh Marjoko
3 Juni 2025 - Updated On 4 Juni 2025
Foto: Ketua PDM Kota Pasuruan, Dr. Abu Nasir, M.Ag
Kabar

Literasi Digital sebagai Ibadah: Seruan Ketua PDM Kota Pasuruan untuk Membaca dan Menghargai Karya Dakwah

oleh Nurul Mawaridah
3 Juni 2025

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Muhammadiyah Kota Pasuruan Siap Gelar Sholat Idul Adha, Ketahui Lokasi Sholat Terdekatmu

29 Mei 2025 - Updated On 30 Mei 2025

Alka Band Pembuka Acara Silaturahim Balappan 2025

11 Mei 2025

Guncang GOR Pasuruan! Penampilan Perdana Tim Drum Band SD Al Kautsar Langsung Borong Juara

1 Juni 2025

Diskusi Sambil Ngopi, Majelis Pustaka dan Informasi Bersama AMM Lahirkan Platform Digital “PasMU”

9 Mei 2025

Noise vs Voice: Demokrasi atau Distraksi?

4 Juni 2025
Image Google

Kesinambungan Nilai Ibadah Qurban dan Implementasi Keadilan Sosial

4 Juni 2025

Gaji Pas-Pasan Tapi Ingin Qurban? Lazismu Kota Pasuruan Punya Solusinya!

3 Juni 2025

Haji Furoda, Bayar Lebih Belum Tentu Ber-Haji!

3 Juni 2025 - Updated On 4 Juni 2025

© 2025 PasMu - Media Pencerahan

Navigate Site

  • Home
  • Privacy Policy
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

PasMU cerdas

PasMU Cerdas adalah kecerdasan buatan (AI) yang siap membantu kamu menjawab pertanyaan seputar Islam. Tapi perlu diketahui bahwa jawaban yang kami berikan belum tentu 100% benar.

No Result
View All Result
  • Kabar
  • Kajian
  • Opini
  • Sejarah
  • Fakta Islam
  • AUM

© 2025 PasMu - Media Pencerahan