Makkah, Sabtu 28 Juni 2025 — Pagi itu, setelah menuntaskan tahallul, semangat untuk kembali menyatu dengan hiruk pikuk di sekitar Ka’bah begitu membara. Sebagai jemaah yang masih awam, dia mencoba masuk kembali ke area dekat Mathaf, tepatnya di lantai dasar tempat tawaf. Namun, tanpa disadari, langkah kaki ini justru membawa dia ke lantai dua, sebuah tingkatan yang tak kalah ramai namun terasa asing bagi dia.
Kelelahan mulai merayap. Setelah sekian lama beribadah dan menempuh perjalanan, tubuh butuh istirahat. Namun, menemukan tempat yang nyaman untuk sejenak melepas lelah rupanya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap kali dia mencoba berhenti, teriakan “thoriq-thoriq” (minggir-minggir) terdengar. Dia mencoba bergeser, mencari celah di antara lautan manusia, tetapi di mana pun dia berhenti, suara serupa kembali menghampiri. Ini adalah pengingat betapa padatnya area tawaf, dan betapa pentingnya menjaga kelancaran aliran jemaah di sana.
Waktu terus berjalan, dan perut mulai meronta. Rasa lapar tak bisa lagi ditoleransi. Di tengah kebingungan mencari warung makan, dia bersyukur bertemu dengan seorang petugas haji asal Indonesia. Dengan ramah, beliau menunjuk ke arah gedung dekat WC 3. Harapan akan hidangan lezat langsung membumbung tinggi. Namun, setibanya di sana, lantai dasar hanya menjajakan kurma dan sejenisnya. “Tidak apa-apa, yang penting perut terisi,” gumam dia, mencoba menenangkan diri. Dalam kondisi demikian, kebutuhan dasar menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti hanya mengonsumsi kurma untuk sementara waktu.
Jam terus berputar, dan baru setelah salat Jumat, keberuntungan berpihak. Di lantai tiga, dia akhirnya menemukan warung makan. Pilihan jatuh pada nasi kambing, membayangkan kelezatannya setelah menahan lapar sekian lama. Namun, ada “makanan kaget” lain yang menanti. Ketika hendak membayar, harganya ternyata 40 riyal, jauh dari perkiraan awal dia yang hanya 10 riyal. Sebuah kejutan yang cukup menguras dompet di tengah suasana ibadah. Ini adalah pelajaran penting tentang pentingnya mencari tahu harga terlebih dahulu, terutama di tempat yang baru dikunjungi, agar tidak terkejut di kemudian hari.
Kejutan dengan angka 40 riyal ini ternyata bukan yang terakhir. Di lain waktu, saat kembali ke hotel, terdengar suara “wakaf-wakaf” bersahutan. Spontan, dia mengambil Al-Qur’an besar yang ditawarkan, mengira ini adalah bagian dari sedekah atau wakaf gratis untuk jemaah. Namun, lagi-lagi, dia diminta membayar 40 riyal. Dua kali dalam sehari, angka yang sama memberikan kejutan yang serupa, namun dengan konteks yang berbeda.

Hikmah dari Catatan Haji: Adaptasi, Kesabaran, dan Peringatan Finansial
Dari rentetan pengalaman “makanan kaget” ini, ada beberapa hikmah yang dapat dipetik selama perjalanan suci ini:
- Hikmah Adaptasi dan Kesabaran: Pengalaman terhenti karena “thoriq-thoriq” mengajarkan pentingnya adaptasi dan kesabaran di tengah keramaian. Di Tanah Suci, segalanya serba dinamis dan seringkali tidak berjalan sesuai rencana. Kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada, serta kesabaran dalam menghadapi antrean, keterbatasan tempat, atau bahkan arahan dari petugas, adalah kunci untuk menjalani ibadah dengan tenang.
- Hikmah Kebutuhan Dasar dan Prioritas: Saat perut keroncongan dan hanya ada kurma, dia belajar tentang pentingnya memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu. Terkadang, ekspektasi akan makanan yang mewah harus dikesampingkan demi keberlangsungan ibadah. Ini mengajarkan dia untuk tidak terlalu terpaku pada keinginan, melainkan memprioritaskan apa yang benar-benar dibutuhkan.
- Hikmah Peringatan Finansial dan Kewaspadaan: Dua kali kejutan dengan angka 40 riyal menjadi peringatan finansial yang signifikan. Pengalaman nasi kambing yang lebih mahal dari perkiraan mengajarkan pentingnya bertanya dan memastikan harga sebelum membeli, terutama di tempat asing. Sementara itu, insiden Al-Qur’an “wakaf” yang ternyata berbayar, menyoroti pentingnya kewaspadaan dan tidak mudah berasumsi. Tidak semua tawaran adalah gratis, dan perlu dikonfirmasi ulang agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ini adalah pengingat untuk selalu berhati-hati dan teliti dalam setiap transaksi.
Setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang mengejutkan, di Tanah Suci adalah bagian dari proses pendewasaan spiritual. Momen “makanan kaget” ini, meski awalnya bikin terkesiap, justru menjadi pelajaran berharga yang akan selalu teringat. Semoga setiap jemaah dapat mengambil hikmah dari setiap liku perjalanan, demi haji yang mabrur dan penuh berkah.
Wallahu a’lam.