Penjarahan, sebuah kata yang bergetar dengan gema kekacauan, kemarahan, dan kehampaan moral. Secara definisi, ia adalah tindakan paling primitif: mengambil paksa apa yang bukan milik kita, sering kali dalam kekacauan yang disengaja. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, ini adalah pengkhianatan telanjang terhadap fondasi peradaban kita.
Kami mengecam keras penjarahan yang menimpa kediaman anggota DPR dan salah satu Mentri. Terlepas dari status atau kekayaan korban, apakah ia pejabat, keturunan bangsawan, atau rakyat biasa, hak atas kepemilikan pribadi adalah tiang pancang yang harus tegak. Harta benda yang dicuri tidak serta-merta bisa dicap sebagai hasil korupsi. Bisa jadi itu adalah warisan leluhur, hasil keringat bertahun-tahun sebelum memasuki gelanggang politik, atau sesuatu yang sama sekali tidak terkait dengan jabatan publiknya. Melakukan penghakiman sepihak dan merampas harta, apalagi di tengah kerumunan yang kalap, adalah cermin buruk dari penyakit sosial kita: iri hati, dengki, dan hasrat membara untuk mencari jalan pintas.
Mengambil barang dengan cara merampas, apalagi di tengah kerusuhan, menunjukkan wajah lain dari penyakit sosial kita: iri, dengki, dan keinginan mencari jalan pintas. Penjarahan tidak pernah menjadi jalan menuju keadilan. Justru sebaliknya, ia hanya menambah rantai kekerasan dan memperdalam jurang ketidakpercayaan di masyarakat.
Kritik terhadap pejabat publik sah untuk disuarakan, bahkan wajib ketika mereka lalai menjalankan amanah. Namun, kritik yang sehat seharusnya hadir dalam bentuk argumentasi, advokasi, dan tuntutan politik yang rasional, bukan dalam bentuk perampasan harta benda. Menjarah rumah seorang anggota DPR tidak menyelesaikan masalah korupsi, tidak memperbaiki kebijakan publik, dan tidak menumbuhkan keadilan sosial. Yang terjadi hanyalah kerusakan moral: masyarakat semakin terbiasa menghalalkan kekerasan sebagai ekspresi ketidakpuasan.
Jika penjarahan dibiarkan menjadi pola protes, maka kita sedang membuka kotak pandora. Hari ini rumah pejabat yang dijarah, besok rumah rakyat biasa bisa bernasib sama ketika kerumunan kehilangan kendali. Ini adalah ancaman terhadap rasa aman kita bersama.
Oleh karena itu, kita harus memisahkan dengan jelas: mengoreksi pejabat yang salah adalah bagian dari demokrasi, tetapi menjarah adalah kriminalitas. Kita boleh membenci korupsi, kita boleh marah pada wakil rakyat yang berkhianat, tapi jangan sampai amarah itu justru menodai martabat kita sendiri sebagai bangsa yang katanya menjunjung tinggi hukum dan moral.