Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh bukan sekadar gambar sejarah, melainkan sebuah pernyataan politik yang cerdas dan berani. Sebagai seorang pelukis terkemuka di Nusantara pada era kolonial, Raden Saleh berhasil menciptakan karya yang tidak hanya memukau secara visual tetapi juga penuh dengan pesan tersembunyi yang menggugah. Melalui analisis formal, naratif, dan konteks sejarah, kita dapat melihat bagaimana lukisan ini menjadi bentuk perlawanan halus terhadap penjajahan Belanda.
Secara formal, lukisan ini memamerkan keahlian teknis Raden Saleh yang luar biasa. Dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas berukuran 112 x 178 cm, ia menghadirkan detail yang memukau, dari seragam prajurit hingga ekspresi wajah setiap karakter. Komposisi lukisan dirancang sedemikian rupa sehingga Pangeran Diponegoro menjadi titik fokus utama. Cahaya yang menyorot dari kiri mengarah langsung pada sang pangeran, seolah menyimbolkan harapan dan keteguhan dalam kegelapan. Ini adalah strategi visual yang cerdas untuk menegaskan bahwa Diponegoro adalah tokoh sentral, bukan sekadar tawanan.
Naratif yang dibangun Raden Saleh dalam lukisan ini juga patut diperhatikan. Berbeda dengan lukisan Nicolaas Pieneman, yang menggambarkan Diponegoro sebagai tawanan yang pasrah, Raden Saleh menghadirkan sang pangeran dengan sikap menantang. Dagunya terangkat, tangannya terkepal, dan matanya penuh dengan tekad. Ini adalah representasi yang jauh lebih heroik dan bermartabat. Bahkan, gestur Jenderal De Kock dalam lukisan Raden Saleh terlihat lebih seperti mempersilakan daripada memerintah, seolah mengakui bahwa Diponegoro adalah lawan yang sepadan.
Simbol-simbol dalam lukisan ini juga sarat makna. Lampu yang sejajar dengan Diponegoro menyiratkan kebijaksanaan dan kecerdasan, sementara kepala besar para petinggi Belanda bisa ditafsirkan sebagai simbol kesombongan dan arogansi. Yang paling menarik adalah kehadiran tiga self-portrait Raden Saleh sebagai pengikut Diponegoro. Ini bukan hanya tanda bahwa ia terlibat secara emosional dalam peristiwa tersebut, tetapi juga cara halus untuk menyatakan solidaritasnya dengan perjuangan rakyat Jawa.
Namun, yang paling provokatif adalah konteks sejarah di balik pembuatan lukisan ini. Raden Saleh, sebagai seorang yang dekat dengan Belanda, menghadiahkan karya ini kepada Raja Belanda. Pada pandangan pertama, ini mungkin terlihat seperti pengakuan atas kekuasaan kolonial. Namun, jika dilihat lebih dalam, lukisan ini justru menjadi alat untuk mengkritik Belanda secara halus. Raden Saleh menggunakan bahasa seni yang elegan untuk menyampaikan pesan bahwa penangkapan Diponegoro bukanlah kemenangan mulia, melainkan sebuah pengkhianatan.
Lukisan ini juga mengingatkan kita bahwa nasionalisme tidak selalu harus diungkapkan dengan teriakan atau kekerasan. Raden Saleh, sebagai seorang seniman, memilih untuk melawan dengan kuas dan kanvas. Ia membuktikan bahwa seni bisa menjadi senjata yang ampuh untuk mengubah narasi dan mempengaruhi persepsi. Dalam konteks ini, “Penangkapan Pangeran Diponegoro” bukan hanya lukisan, melainkan sebuah manifesto perlawanan.
Dalam dunia yang penuh dengan konten instan dan viral, karya Raden Saleh mengajarkan kita untuk lebih menghargai kedalaman dan makna. Ia mengajak kita untuk tidak hanya melihat seni sebagai hiburan, tetapi sebagai cerminan sejarah, identitas, dan perlawanan. Lukisan ini adalah bukti bahwa bahkan dalam keadaan terjajah, suara kebenaran dan keadilan tidak pernah bisa sepenuhnya dibungkam.
Jadi, lain kali kita melihat sebuah karya seni, mari kita tidak hanya berfokus pada keindahan visualnya, tetapi juga pada pesan dan konteks di baliknya. Seperti yang Raden Saleh tunjukkan, seni bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi juga tentang apa yang tersirat.