Kyai mondar-mandir pakai Mercy. Tapi ketika pondok dibangun, yang turun tangan justru para santri. Mereka jadi tukang dadakan, demi hemat biaya. Tangan-tangan yang semestinya memegang kitab, menimba ilmu serta memperbanyak hafalan, malah menggenggam sekop dan ember semen. Untuk menaikkan hasil campuran cor ke atas lantai yang akan di bangun
Dan ketika bangunan itu ambruk, mereka disebut syahid. Semua dibungkus rapi dengan kata “takdir”. Hebat ya, dagang pahala, untungnya dunia, bungkusnya surga.
Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo bukan cuma soal tembok yang runtuh, tapi tentang nurani yang ikut roboh. Puluhan santri kehilangan nyawa, ratusan luka-luka. Tangis para orang tua pecah di depan reruntuhan. Di antara debu dan beton, ada sandal jepit kecil, kitab yang koyak, dan sisa-sisa harapan yang tak sempat tumbuh.
Bangunan itu baru saja selesai pengecoran lantai tiga. Padahal, menurut pakar teknik dari ITS, pondasi awalnya hanya untuk satu lantai. Tapi pengurus tetap menambah lantai demi lantai, seolah keyakinan bisa menggantikan perhitungan. Tak ada izin, tak ada pengawasan, dan yang bekerja pun bukan tukang, melainkan para santri sendiri.
Beberapa orang tua santri bersaksi, anak mereka sering disuruh membantu pengecoran. Bahkan ada yang menjadikannya hukuman bagi santri yang melanggar aturan. Hukuman yang dibungkus dalih pendidikan mental. Padahal, apa yang bisa dididik dari bahaya yang tak mereka pahami?
Lalu, ketika bangunan itu runtuh, mereka berkata: ini ujian dari Allah, ini takdir. Padahal, takdir tidak pernah menafikan tanggung jawab manusia. Takdir tidak menulis dengan beton yang retak dan izin yang diabaikan.
Yang paling menyayat bukan hanya kabar duka, tapi bagaimana tragedi ini dinarasikan. Semua dibungkus dengan bahasa religius yang menenangkan tapi juga meninabobokan. Seolah Tuhan yang bersalah, bukan manusia yang lalai. Seolah nyawa-nyawa yang melayang adalah harga wajar dari pembangunan pondok yang megah.
Kyai memang pantas dihormati. Tapi hormat tidak berarti membutakan hati dan akal. Mengkritik bukan berarti durhaka, justru bentuk kasih sayang agar kebenaran tak dibungkam. Karena kalau setiap kesalahan disucikan atas nama agama, maka agama tinggal jadi pelindung bagi mereka yang menolak disalahkan.
Saya membayangkan para santri itu. Anak-anak muda yang meninggalkan rumah demi ilmu, tapi malah pulang dalam peti. Mungkin mereka tak pernah mengeluh saat disuruh mengangkut pasir atau menyiram coran. Mereka mengira sedang berkhidmat. Mereka percaya, semua yang diperintahkan guru adalah kebaikan. Karena di pondok, kata “ta’dzim” adalah hukum tertinggi.
Tapi kadang, ketaatan yang tak dilandasi nalar justru berbuah petaka. Mungkin inilah luka paling dalam dari tragedi ini, ketika kesalehan digunakan untuk menutupi keserakahan. Ketika kelalaian dibungkus dengan istilah ujian. Ketika tanggung jawab dihapus oleh kalimat “ini sudah takdir”.
Padahal, di balik semua ini, ada orang tua yang kehilangan anak, ada sahabat yang tak sempat pamit, ada masa depan yang patah sebelum mekar.
Salah satu orangtua korban bahkan menolak uang santunan dari pihak pondok. Ia berkata, “Saya tidak butuh uang, saya hanya ingin doa yang suci atau keridhoan yang Kyai, doa yang tidak diperdagangkan.”Kalimat itu seperti cambuk. Karena di zaman ini, kesucian sering dijual dalam bungkus ketaatan, sementara nurani perlahan kehilangan suara.
Kita memang tak bisa menolak takdir, tapi kita bisa menolak kecerobohan. Kita tak bisa mengembalikan nyawa, tapi kita bisa menuntut tanggung jawab. Karena agama sejatinya bukan hanya soal sabar, tapi juga soal adil.
Tragedi Al-Khoziny seharusnya membuka mata kita, bahwa pondok bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, tapi juga ruang di mana nilai kemanusiaan harus dijaga. Bahwa membangun pesantren bukan hanya tentang tinggi bangunan, tapi kuatnya etika dan tanggung jawab di bawahnya.
Kalau kita terus diam, besok mungkin akan ada lagi pondok-pondok roboh. Akan ada lagi santri-santri yang disebut syahid karena kelalaian yang dibiarkan. Dan lagi-lagi, semuanya akan disebut “takdir”. Padahal, Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk lalai. Tuhan hanya meminta kita untuk jujur, pada iman, pada akal, dan pada kemanusiaan.