Di zaman ketika segalanya diukur dengan angka, uang kerap dianggap sebagai poros kehidupan. Banyak orang menilai keberhasilan, harga diri, bahkan kebahagiaan seseorang dari seberapa banyak harta yang ia miliki. Namun, semakin banyak manusia berlari mengejar uang, semakin mereka merasakan kekosongan yang tak mampu diisi oleh nominal berapa pun.
Fenomena ini bukan hal baru. Dunia secara perlahan menanamkan keyakinan bahwa nilai hidup hanya dapat diukur dari kepemilikan. Kita diajak untuk berlomba, bersaing, bahkan berperang dalam sunyi demi mengumpulkan sebanyak mungkin harta, tanpa menyadari bahwa kita sedang dijebak dalam lingkaran kehausan yang tak berujung. Sebab sesungguhnya, yang manusia cari bukanlah uang itu sendiri, melainkan rasa aman, rasa cukup, dan rasa bermakna.
Ironisnya, banyak yang baru memahami hal itu ketika sudah berada di puncak harta. Setelah melalui perjalanan panjang, mereka sadar: uang bukanlah segalanya. Uang hanyalah cermin yang memperbesar siapa diri kita sebenarnya. Jika hati penuh kasih, uang memperluas kasih itu. Jika hati dipenuhi ketakutan, uang memperbesar kecemasan. Dan bila diri dikuasai ambisi tanpa arah, uang akan menjadi bahan bakar yang mempercepat kehancuran.
Dalam perjalanan kesadaran manusia terhadap uang, ada tiga tahap yang dapat menggambarkan proses evolusi batin ini.
Tahap pertama adalah kesadaran bertahan hidup. Di sini, uang dipandang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan, tempat tinggal, dan keamanan. Fokusnya sederhana, bagaimana agar hidup cukup.
Namun setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia naik ke tahap kedua, yakni kesadaran ego dan ambisi. Uang kini bukan lagi sekadar alat, tetapi identitas. Ia menjadi simbol pengakuan, status, dan kekuasaan. Inilah tahap di mana banyak orang mulai kehilangan jati diri. Hidup diukur dari angka di rekening, bukan dari kedalaman jiwa. Di sinilah kita menyaksikan fenomena korupsi, keserakahan industri, dan kehancuran alam, semua karena kesadaran manusia yang masih tertambat pada ilusi bahwa uang adalah sumber hidup.
Tetapi ada satu tahap yang lebih tinggi yaitu tahap kesadaran jiwa. Pada titik ini, seseorang mulai memahami bahwa uang hanyalah energi netral, titipan Tuhan untuk menjalankan misi kehidupan. Uang bukan untuk disimpan dan ditakuti hilang, melainkan untuk disalurkan, menjadi aliran kebaikan, dan menopang peran kita dalam kehidupan semesta.
Ketika seseorang mencapai tahap ini, hidupnya berubah total. Dari yang semula mengejar, menjadi mengalir. Dari ingin memiliki, menjadi ingin mengabdi. Ia tak lagi menempatkan uang di atas kehidupan, tetapi menjadikannya kendaraan untuk melayani kehidupan itu sendiri.
Mereka yang sampai di tahap kesadaran ini tidak lagi bertanya, “Bagaimana caranya aku menjadi kaya?”, tetapi, “Bagaimana aku bisa menjadi saluran berkah?” Sebab bagi mereka, kekayaan sejati bukan di rekening, tetapi di hati yang merasa cukup dan bersyukur.
Dan mungkin, ketika kita membaca atau mendengar renungan semacam ini, sesungguhnya itu bukan kebetulan. Mungkin ini adalah panggilan untuk melompat, dari kesadaran ego menuju kesadaran jiwa.
Tugas kita bukan memastikan apakah kita akan kaya atau tidak, melainkan memastikan apakah kita sedang hidup dalam aliran Tuhan, atau masih berusaha keras melawan-Nya. Karena pada akhirnya, hidup bukanlah tentang berapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang seberapa dalam kita memahami makna dari setiap pemberian-Nya.