Saat ini kita telah memasuki bulan haji, yang menandakan bahwa hari raya Idul Adha akan segera tiba. Di Indonesia, mayoritas umat Muslim merujuk pada perayaan ini sebagai hari raya qurban. Idul Adha merupakan momen penting bagi umat Islam dan dirayakan oleh umat muslim di berbagai belahan dunia.
Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri mengenai Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama untuk tahun 2025. Dalam keputusan tersebut, Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriyah ditetapkan jatuh pada hari Jumat, tanggal 6 Juni 2025.
Ibadah qurban memiliki hubungan yang signifikan dengan ibadah haji, meskipun tidak merupakan bagian dari rangkaian yang wajib dalam pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Qurban merupakan aspek penting dalam perayaan ibadah bagi umat Muslim, yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail, yang tercatat dalam Al-Qur’an.
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar mengalami penantian yang cukup lama untuk memiliki keturunan. Ketika Nabi Ismail lahir, ia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Namun, Nabi Ibrahim kemudian menerima perintah dari Tuhan untuk menyembelih putranya yang sangat dicintainya. Nabi Ibrahim menyambut perintah tersebut dengan ketawadhuan dan pengabdian.
Perintah ini dianggap sebagai ujian bagi kesabaran, penghambaan, dan ketundukan Nabi Ibrahim kepada Allah. Dalam proses tersebut, perintah untuk menyembelih Nabi Ismail kemudian diganti dengan penyembelihan seekor domba sebagai pengganti.
Ibadah qurban memiliki nilai-nilai keadilan dan perhatian terhadap masyarakat yang kurang mampu. Daging qurban umumnya diberikan terlebih dahulu kepada kaum dhuafa dan fakir miskin, meskipun tidak ada larangan untuk memberikan kepada mereka yang lebih mampu secara finansial. Hal ini menunjukkan bahwa qurban mengajarkan pentingnya prinsip berbagi, rasa saling memiliki, serta sikap tolong-menolong dan bergotong royong dalam masyarakat.
Konsep qurban dan cita-cita keadilan sosial berkaitan erat dengan sila ke-5 Pancasila, yang menegaskan prinsip keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, “Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan”.
Namun, meskipun prinsip keadilan sosial tercantum dalam ajaran Pancasila, seringkali nilai-nilai ini tampak tidak terwujud dan hanya menjadi retorika dalam konteks birokrasi yang dominan oleh oligarki. Kesenjangan ekonomi yang terlihat antara penguasa dan masyarakat umum menciptakan kondisi yang mengkhawatirkan, di mana kekayaan sumber daya alam seringkali dikuasai oleh segelintir kelompok, sementara sebagian besar masyarakat hanya menjadi penonton dalam proses pemanfaatan sumber daya tersebut.
Melalui semangat qurban, para penguasa mestinya meneladani Nabi Ibrahim AS yang tunduk terhadap perintah Tuhannya, tentu hal ini juga berkorelasi dengan prinsip ajaran Islam, yang mengajarkan tentang social justice (keadilan sosial), keberpihakan kepada kaum lemah dan membela kaum tertindas.
Penulis : Irfan Efendi, Ketua PDPM Kota Pasuruan