Sejarah sering kali menjadi cermin yang memberikan pelajaran berharga bagi masa kini. Dua sosok penguasa besar yang akhirnya tumbang secara tragis,Raja Louis XVI dari Prancis dan Tsar Nikolai II dari Rusia, menjadi bukti nyata bahwa mengabaikan penderitaan rakyat adalah kesalahan fatal yang dapat berujung pada kejatuhan sebuah rezim.
Louis XVI, penguasa Prancis pada akhir abad ke-18, hidup di istana megah Versailles yang jauh dari denyut nadi rakyatnya. Ketika gejolak Revolusi Prancis mulai muncul akibat kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial, ia meremehkan situasi tersebut. Alih-alih merangkul rakyat dan melakukan reformasi nyata, ia terjebak dalam lingkaran elit istana yang menutup telinga terhadap keluhan masyarakat. Akibatnya, ketika gelombang revolusi mencapai puncaknya, Louis XVI tidak hanya kehilangan tahtanya, tetapi juga nyawanya di bawah guillotine pada tahun 1793.
Lebih dari seabad kemudian, kisah serupa kembali terjadi di Rusia. Tsar Nikolai II menghadapi situasi rakyat yang menderita, mulai dari kelaparan, ketertinggalan ekonomi, hingga keresahan politik. Setelah Revolusi 1905, desakan untuk melakukan perubahan sudah sangat jelas. Namun, Nikolai II tetap berkeras mempertahankan status quo. Keputusannya membawa Rusia terjun ke dalam Perang Dunia I memperburuk keadaan: jutaan rakyat menderita, ekonomi runtuh, dan kepercayaan publik semakin hilang. Pada akhirnya, revolusi 1917 meledak, menggulingkan monarki, dan menyeret Tsar beserta keluarganya ke akhir yang mengenaskan,diekskusi tanpa ampun oleh kaum Bolshevik.
Dari dua peristiwa ini, terdapat satu benang merah yang tidak bisa diabaikan: legitimasi seorang pemimpin tidak hanya bersandar pada gelar, kekuasaan, atau militer yang mereka miliki. Legitimasi sejati lahir dari kesejahteraan dan persetujuan rakyat yang dipimpin. Saat suara rakyat diabaikan, pemerintah sedang menanam bibit ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi badai revolusi.
Pelajaran ini tetap relevan hingga hari ini, terutama bagi para pejabat dan pemimpin di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Rakyat tidak lagi hidup di era komunikasi terbatas. Saat ini, aspirasi dan kritik masyarakat dapat bergema dengan cepat melalui media sosial, menciptakan tekanan publik yang tidak bisa dianggap enteng. Salah langkah komunikasi, apalagi pengabaian terhadap kebutuhan dasar rakyat,seperti harga pangan, akses kesehatan, pendidikan, serta keadilan sosial,dapat menjadi bara yang sewaktu-waktu menyulut api ketidakpuasan.
Oleh karena itu, pejabat publik seharusnya tidak hanya mendengar, tetapi juga merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya. Seorang pemimpin dituntut memiliki kepekaan sosial, empati, dan keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan umum. Mengabaikan jeritan rakyat bukan hanya kesalahan moral, tetapi juga kesalahan politik yang berbahaya.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang terlihat kokoh sekalipun bisa runtuh hanya dalam hitungan hari ketika rakyat bersatu melawan ketidakadilan. Louis XVI dan Tsar Nikolai II adalah contoh nyata bagaimana kesombongan, kelalaian, dan ketidakpedulian dapat mengakhiri sebuah dinasti berabad-abad.
Pesannya jelas: jangan pernah meremehkan kekuatan rakyat. Sebab, pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi sumber legitimasi, dan rakyat pula yang berhak menentukan nasib pemimpinnya.