Banyak dari kita pernah mengalami hal yang sama yakni sudah membaca banyak buku, menonton berbagai kursus online, atau mengikuti seminar-seminar pengembangan diri, tapi ujung-ujungnya lupa. Informasi yang baru kita pelajari terasa cepat menguap, seolah tidak pernah menempel di kepala. Fenomena ini bukan karena kita bodoh atau tidak mampu, melainkan karena cara kita belajar sering kali tidak efektif. Dari sinilah menarik untuk membahas salah satu insight dari buku The Diary of a CEO karya Stephen Bartlett, yang menjelaskan bagaimana cara memahami sesuatu lebih cepat dan mengingatnya lebih lama.
Dalam bukunya, Stephen menekankan bahwa untuk benar-benar memahami apa pun yang kita pelajari, ada tiga hal penting yang perlu dilakukan yaitu mengajarkan, menyederhanakan, dan memiliki sesuatu yang dipertaruhkan atau yang ia sebut sebagai skin in the game. Ketiga prinsip ini bukan hanya teoritis, tapi juga sangat relevan di dunia belajar dan bekerja hari ini, di mana informasi melimpah dan kemampuan menyerap pengetahuan menjadi nilai yang sangat berharga.
1. Mengajarkan: Belajar Lewat Berbagi
Stephen Bartlett punya kebiasaan unik sejak usia 21 tahun. Setiap kali ia mempelajari sesuatu yang baru, ia berkomitmen untuk membagikannya ke media sosial, baik dalam bentuk tulisan, video, atau bentuk konten lainnya. Dari kebiasaan sederhana itu, ternyata ada efek domino yang besar terhadap kariernya. Ia tidak hanya memperdalam pengetahuan yang baru didapat, tetapi juga belajar cara berkomunikasi yang efektif serta membangun personal branding.
Dari sudut pandang saya, kebiasaan “mengajarkan kembali” ini adalah bentuk belajar paling efektif yang bisa dilakukan siapa pun. Mengapa? Karena saat kita mengajarkan sesuatu, kita dipaksa untuk memahami materi secara utuh dan menyederhanakannya. Kita tidak bisa hanya menghafal, kita harus benar-benar mengerti. Ketika menjelaskan kepada orang lain, kita belajar menstrukturkan pikiran, memilih kata yang tepat, dan menyesuaikan gaya komunikasi agar bisa dipahami.
Inilah alasan kenapa guru, dosen, atau pembicara publik sering kali terlihat begitu menguasai topik tertentu, bukan semata karena mereka jenius, tapi karena mereka telah mengajarkannya berulang kali. Otak kita bekerja lebih optimal saat kita menjelaskan sesuatu dibandingkan hanya menerima informasi secara pasif.
2. Menyederhanakan: The Feynman Technique
Langkah kedua yang dijelaskan Bartlett adalah menggunakan The Feynman Technique, metode yang dikembangkan oleh fisikawan pemenang Nobel, Richard Feynman. Prinsipnya sederhana, kalau kamu benar-benar paham sesuatu, jelaskan itu dengan cara yang bisa dimengerti anak SD.
Kedengarannya mudah, tapi faktanya sulit dilakukan. Saat kita mencoba menyederhanakan sebuah konsep kompleks, kita akan sadar di bagian mana pemahaman kita masih dangkal. Proses ini menuntut kita untuk berpikir mendalam, bukan sekadar mengulang informasi.
Ada empat langkah yang bisa diterapkan dalam teknik ini. Pertama, riset. Pelajari topik yang ingin kamu pahami dari berbagai sumber dan sudut pandang. Kedua, tulis. Tuangkan pemahamanmu dalam bentuk tulisan yang sederhana. Jangan takut salah, karena di sinilah proses berpikir kritis terjadi. Ketiga, publish. Bagikan ke media sosial, blog, atau sekadar diskusikan dengan teman. Terakhir, evaluasi. Perhatikan apakah orang lain memahami penjelasanmu. Jika belum, berarti kamu perlu kembali memperdalam pemahamanmu.
Bagi saya, teknik ini sangat powerful karena mengajarkan kita dua hal penting dengan berpikir jernih dan berkomunikasi efektif. Di era digital seperti sekarang, kemampuan menjelaskan sesuatu dengan cara sederhana adalah bentuk kecerdasan yang paling nyata.
3. Skin in the Game: Ketika Ada yang Dipertaruhkan
Prinsip ketiga yang dijelaskan Stephen Bartlett adalah konsep skin in the game, yaitu kondisi di mana kita memiliki sesuatu yang dipertaruhkan dalam proses belajar. Dalam kasus Stephen, skin yang ia maksud adalah ribuan pengikutnya di media sosial. Ia merasa memiliki tanggung jawab untuk terus belajar dan berbagi, karena jika berhenti, audiensnya bisa saja meninggalkannya. Tekanan ini membuatnya tetap konsisten.
Konsep ini bisa diterapkan dalam konteks apa pun. Misalnya, seseorang yang belajar meta ads (iklan digital) mungkin tidak akan sungguh-sungguh paham jika hanya membaca teori. Tapi ketika ia mulai beriklan dengan uang sendiri, rasa takut rugi akan mendorongnya untuk belajar lebih serius dan mencari tahu apa yang benar-benar berhasil.
Ada penelitian yang mendukung ide ini, manusia cenderung lebih termotivasi untuk menghindari kerugian dibandingkan mengejar keuntungan. Ketika ada risiko nyata seperti waktu, uang, atau reputasi, kita akan berusaha semaksimal mungkin agar usaha kita tidak sia-sia. Dengan kata lain, komitmen yang disertai konsekuensi menciptakan kedisiplinan alami.
4. Dari Teori ke Praktik
Namun, semua teori di atas tidak akan berarti apa-apa kalau tidak dipraktikkan. Banyak orang berhenti di tahap konsumsi informasi, menonton video, membaca buku, mencatat poin-poin penting, tanpa pernah mencoba menerapkannya. Padahal, belajar sejati baru terjadi ketika teori diuji dalam tindakan.
Mengajarkan, menyederhanakan, dan mempertaruhkan sesuatu bukan sekadar strategi belajar, tapi juga filosofi hidup. Ketiganya mengajarkan tanggung jawab terhadap pengetahuan, untuk benar-benar memahami sesuatu, kita harus rela keluar dari zona nyaman, mengambil risiko, dan berbagi dengan orang lain.
Pada akhirnya, kemampuan belajar dengan cepat bukanlah tentang berapa banyak yang kita baca, tapi seberapa dalam kita memahami, mengajarkan, dan menjadikannya bagian dari hidup kita. Seperti kata Stephen Bartlett, belajar itu akan benar-benar berarti ketika ada sesuatu yang kita pertaruhkan, baik itu waktu, reputasi, maupun komitmen pribadi. Dan ketika kita mulai melakukannya, kita tidak hanya belajar lebih cepat, tapi juga tumbuh lebih kuat.