Di negeri ini, kita sering terjebak pada euforia kebencian terhadap simbol-simbol kekuasaan. Kita marah kepada DPR, jengkel pada Presiden, dan sinis terhadap aparat kepolisian. Namun, di sisi lain, kita juga tetap memilih mereka lima tahun sekali ketika diberikan uang atau janji-janji kosong. Pertanyaannya sederhana: apakah kita benar-benar membenci perilaku korupsi, atau kita sebenarnya hanya marah karena tidak kebagian bagian dari “kue” itu?
Fenomena ini bisa kita lihat dalam banyak contoh sehari-hari. Ketika ada polisi yang benar-benar menindak pelanggaran lalu lintas, seperti pemotor yang masuk jalur sepeda, justru ia dihujat habis-habisan di kolom komentar media sosial. Padahal, bukankah itu tugas polisi untuk menegakkan aturan? Namun, sebagian orang lebih suka mencari celah untuk menyalahkan aparat ketimbang bercermin pada kesalahan dirinya sendiri. Ironisnya, hujatan itu justru datang dari mereka yang melanggar aturan. Inilah yang membuat kita sulit membedakan: apakah kebencian pada institusi benar-benar berakar pada rasa keadilan, atau sekadar lahir dari rasa sakit hati karena tidak bisa bebas melanggar.
Sikap semacam ini menunjukkan bahwa masalah bangsa ini bukan hanya ada di kursi kekuasaan, melainkan juga mengakar dalam perilaku rakyatnya sendiri. Kita bisa menuding politisi sebagai biang kerok korupsi, tetapi bukankah banyak di antara kita yang dengan enteng menerima serangan fajar, saat pelilihan legislatif dalam agenda 5 tahunan, Korupsi dalam skala besar memang menyedihkan, tapi budaya korupsi dalam skala kecil yang kita lakukan adalah akar dari masalah yang lebih besar.
Jika kita tarik ke belakang, kursi-kursi jabatan hari ini banyak diduduki oleh mereka yang dulu begitu kritis saat reformasi 1998. Mereka turun ke jalan dengan semangat idealisme. Namun, apa yang terjadi ketika mereka berada di dalam sistem? Banyak yang ikut larut dalam lingkaran setan kekuasaan, lupa pada janji perjuangan. Hal ini menunjukkan satu hal: revolusi politik tanpa revolusi mindset hanya akan melahirkan penguasa-penguasa baru dengan kesalahan yang sama.
Maka dari itu, tugas kita bukan hanya menuntut revolusi dalam arti mengganti pemimpin atau sistem, melainkan juga mempersiapkan mindset generasi baru. Mungkin generasi orang tua kita sudah terlambat, bahkan generasi kita pun sebagian sudah terlalu kaku untuk dibentuk. Namun, ada harapan yang bisa kita tanamkan pada adik-adik dan anak-anak kita. Kita bisa mengajarkan pada mereka bahwa mencontek, menyogok, atau mencari jalan pintas dengan uang adalah bagian dari budaya korupsi. Pendidikan karakter semacam ini jauh lebih penting daripada sekadar jargon politik.
Negara kita ibarat tubuh yang terkena kanker stadium lanjut. Kanker itu bernama korupsi. Sulit disembuhkan hanya dengan obat, apalagi sekadar kosmetik politik. Jalan satu-satunya adalah dengan mengangkat dan mengganti sel-sel yang sudah rusak itu dengan sel-sel baru yang sehat. Sel baru itu adalah generasi yang kita persiapkan, generasi yang betul-betul anti pada korupsi, tidak sekadar ikut-ikutan benci pada penguasa.
Jika kita sungguh-sungguh ingin negeri ini sembuh, maka peran terbesar bukan hanya pada para politisi atau aparat, melainkan pada diri kita sendiri dalam mendidik generasi penerus. Revolusi yang kita butuhkan adalah revolusi mindset, bukan sekadar revolusi politik.