Dalam dunia perfilman, kita mengenal Marvel’s Avengers, sebuah tim pahlawan super dengan beragam kemampuan yang disatukan oleh Nick Fury untuk menghadapi ancaman global. Setiap anggota memiliki karakter unik, senjata, dan kekuatan masing-masing, tetapi yang membuat mereka kuat adalah persatuan visi dengan menyelamatkan dunia. Menariknya, jika kita menoleh ke sejarah Islam modern di Indonesia, khususnya pada awal berdirinya Muhammadiyah, kita menemukan kisah yang serupa meski dalam bentuk yang lebih nyata dan berakar pada nilai-nilai agama. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bisa diibaratkan sebagai Nick Fury, sementara para santrinya adalah Avengers yang membawa misi besar yaitu menjadikan Islam bukan hanya ritual, melainkan juga gerakan sosial untuk kemanusiaan.
Membaca sejarah Muhammadiyah, kita menemukan betapa KH. Ahmad Dahlan tidak pernah puas dengan pemahaman agama yang hanya berhenti di tataran formal. Beliau tidak sekadar mengajarkan bacaan Al-Qur’an, tetapi menanamkan keberanian untuk menghidupkan ayat-ayat itu dalam realitas sosial. Salah satu ayat yang beliau tekankan adalah surat Al-Ma’un, yang menegur orang-orang yang mendustakan agama karena mengabaikan anak yatim dan tidak peduli pada kaum miskin. Dengan mengajarkan surat ini, KH. Ahmad Dahlan sejatinya sedang membekali para santrinya dengan “senjata pamungkas”, sebuah sumber energi yang tak kalah dahsyat dibandingkan perisai Captain America atau palu Thor.
Mari kita lihat formasi “Santri Avengers” ini. Ada Haji Muhammad Sudja, murid pertama sekaligus tokoh yang penuh loyalitas. Dalam tim, ia ibarat Captain America dengan teguh, sederhana, tetapi selalu berada di garis depan. Lalu ada Abdul Hamid BKN, santri istimewa yang aktif berdakwah dan membina masyarakat. Beliau mengingatkan kita pada sosok Iron Man, penuh energi, kreatif, dan inovatif dalam bergerak. Kemudian ada KRH Hajid, murid termuda yang rajin menyerap ajaran gurunya, mirip Spider-Man yang lincah, muda, dan punya kepekaan luar biasa terhadap pesan moral. Ki Bagus Hadikusuma hadir sebagai sosok pemimpin, dengan wibawa dan kekuatan menggerakkan umat, tak ubahnya Thor yang membawa petir semangat dakwah. Dan terakhir, R. Ar. Sutan Mansur, yang memiliki strategi luas dalam memimpin Majelis Tabligh, layaknya Doctor Strange dengan visinya yang jauh ke depan.
Jika kita menyelami lebih dalam, analogi ini tidak sekadar permainan imajinasi. KH. Ahmad Dahlan memang sedang membangun sebuah tim elite. Beliau paham betul bahwa perubahan besar tidak bisa dilakukan seorang diri. Perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan perkembangan organisasi membutuhkan kaderisasi, sebuah proses yang menyiapkan generasi penerus dengan semangat pengabdian. Para santri inilah yang kemudian menjadi tulang punggung Muhammadiyah, menyebarkan api perubahan ke berbagai daerah di Indonesia.
Perbedaan paling mendasar dengan Avengers ala Hollywood adalah medan pertempurannya. Jika Avengers berhadapan dengan alien atau robot canggih, Santri Avengers berhadapan dengan masalah yang justru lebih nyata dikali itu, kemiskinan struktural, kebodohan akibat minimnya akses pendidikan, dan keterbelakangan umat dalam memahami agama. Namun justru karena itu, perjuangan mereka terasa lebih relevan. Mereka tidak menyelamatkan dunia dengan ledakan atau cahaya laser, tetapi dengan gerakan sunyi, mendirikan sekolah untuk anak-anak kecil yang tak mampu, membuka rumah sakit untuk rakyat jelata, menyantuni yatim piatu, hingga mengirim muballigh ke pelosok desa.
Sebagai sebuah opini, saya melihat bahwa kejeniusan KH. Ahmad Dahlan terletak pada kemampuannya mengubah tafsir keagamaan menjadi gerakan sosial. Jika sebagian orang hanya berhenti pada teks, beliau justru mengajak murid-muridnya bertanya: “Apa yang Al-Qur’an inginkan dari kita?” Dari pertanyaan inilah lahir praktik langsung: surat Al-Ma’un bukan hanya dihafalkan, tetapi diwujudkan dengan memberi makan fakir miskin. Inilah bentuk nyata dari agama yang membumi, bukan sekadar wacana.
Saya sering berpikir, seandainya KH. Ahmad Dahlan tidak membentuk “tim Avengers” ini, apakah Muhammadiyah bisa sebesar sekarang? Mungkin tidak. Karena sebagaimana Nick Fury yang tahu kapan dan siapa yang harus direkrut, KH. Ahmad Dahlan juga lihai memilih, mendidik, dan melepas murid-muridnya ke gelanggang masyarakat. Para santri itu bukan hanya penerus, tetapi rekan seperjuangan yang siap melanjutkan misi hingga jauh melampaui usia sang guru.
Bagi saya, analogi Santri Avengers ini penting untuk menegaskan bahwa perjuangan keagamaan tidak bisa berjalan secara individual. Kita sering terjebak dalam glorifikasi figur tunggal, seolah-olah satu tokoh bisa melakukan segalanya. Padahal, sejarah Muhammadiyah menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah gerakan justru lahir dari kerja kolektif. KH. Ahmad Dahlan memang pendiri, tetapi Muhammadiyah bertahan dan berkembang karena ada murid-murid yang setia, berani, dan inovatif.
Kini, lebih dari seratus tahun kemudian, “misi Al-Ma’un” itu masih relevan. Muhammadiyah dengan jaringan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan adalah bukti nyata bahwa warisan Santri Avengers tidak pernah padam. Dunia boleh berubah, teknologi boleh semakin canggih, tetapi tantangan sosial seperti kemiskinan, kesenjangan, dan kebodohan tetap membutuhkan pahlawan. Bedanya, pahlawan hari ini mungkin bukan lagi Sudja atau Sutan Mansur, melainkan para kader muda yang berjuang di ruang-ruang kelas, di rumah sakit, di organisasi, bahkan di dunia digital.
Akhirnya, saya ingin menegaskan bahwa kita semua berpotensi menjadi bagian dari Santri Avengers generasi baru. Kita mungkin tidak punya palu Thor atau armor Iron Man, tetapi kita punya “senjata” yang lebih kuat, iman, ilmu, dan semangat pengabdian. Jika kita benar-benar menghidupkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, terutama pesan kemanusiaan dalam surat Al-Ma’un, maka kita sedang melanjutkan misi besar KH. Ahmad Dahlan.
Dan di situlah letak heroisme sejati. Tidak perlu layar lebar atau efek CGI, karena pahlawan sesungguhnya adalah mereka yang mampu menjadikan ayat suci sebagai cahaya bagi sesama.