Dunia Naruto mengajarkan satu hal: identitas yang diberikan sejak lahir bukan jaminan kesuksesan. Naruto Uzumaki menjadi Hokage bukan karena ia anak Minato, tetapi karena kerja kerasnya. Namun, dalam realitas sosial kita, fenomena “Gus-gusan” justru memperlihatkan betapa privilege keturunan sering kali dianggap sebagai pengganti kapasitas. Ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan cermin dari krisis keilmuan dan degradasi nilai meritokrasi dalam lingkungan pesantren dan masyarakat religius.
Privilege vs. Kapasitas: Ketika Nama Besar Menjadi Topeng
Di banyak pesantren, anak kiai atau tokoh agama sering langsung dijuluki “Gus”sebuah gelar kehormatan yang seharusnya disertai tanggung jawab besar. Namun, sebagian dari mereka justru menggunakan status ini sebagai jalan pintas menarik pengaruh tanpa melalui proses keilmuan yang memadai. Mereka menjadi “selebritas agama” karena viral di media sosial, bukan karena kedalaman ilmu atau keteladanan.
Ini mirip dengan Naruto jika ia dimanja sebagai “anak Hokage” sejak kecil. Ia tak perlu membuktikan diri, karena nama ayahnya sudah cukup memberinya pengakuan. Tapi justru dalam ketiadaan privilege-lah Naruto menemukan jati dirinya. Pertanyaannya: apakah para “Gus” hari ini benar-benar berjuang untuk ilmu, atau hanya menikmati kemewahan status warisan?
Ilmu yang Diwariskan vs. Ilmu yang Diperjuangkan
Dalam tradisi pesantren klasik, seorang santri harus berguru puluhan tahun sebelum layak disebut alim. KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU Dan Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah, tidak serta-merta dianggap ulama besar hanya karena keturunan, beliau belajar ke berbagai pesantren, bahkan ke Mekah. Bandingkan dengan sebagian “Gus” masa kini yang merasa cukup dengan modal nama besar orang tua, tanpa pernah gigih mendalami kitab kuning atau mengabdi pada masyarakat.
Masalahnya semakin kompleks ketika masyarakat sendiri ikut mengultuskan mereka. Media sosial memperparah fenomena ini, seorang “Gus” bisa menjadi populer karena tampangnya, gaya bicaranya, atau konten-konten viral yang minim substansi. Ini bukan hanya persoalan individu, melainkan juga kegagalan kolektif dalam menilai siapa yang pantas menjadi panutan.
Kritik terhadap Sistem yang Melanggengkan Privilege
Fenomena “Gus-gusan” tidak akan terjadi tanpa sistem yang memeliharanya. Beberapa faktor yang memperkuat masalah ini:
- Kultur Feodal dalam Pesantren Sebagian pesantren masih memegang tradisi hierarkis ketat, di mana anak kiai otomatis mendapat posisi istimewa. Ini memicu mental “warisan tahta” alih-alih kompetensi keilmuan.
- Masyarakat yang Terpesona oleh Label Banyak orang lebih terkesan oleh gelar “Gus” daripada kedalaman ilmu. Akibatnya, figur-figur medioker diagungkan hanya karena nama besar keluarganya.
- Ekosistem Media yang Menghamba pada Popularitas Platform seperti TikTok dan Instagram lebih menghargai konten yang menarik perhatian ketimbang konten berbasis pengetahuan. Seorang “Gus” yang pandai membuat lelucon agama bisa lebih tenar daripada ulama yang menghabiskan waktunya mengkaji kitab.
Bagaimana Naruto Mengajarkan Kembali Arti Perjuangan
Naruto tidak diakui karena ia anak Minato, justru identitasnya sebagai jinchuuriki membuatnya dibenci. Namun, melalui perjuangan tanpa henti, ia membuktikan bahwa nilai seseorang terletak pada usahanya, bukan darahnya.
Para “Gus” seharusnya belajar dari Naruto: jika ingin dihormati, hormati ilmu terlebih dahulu. Jangan menjadikan nama besar keluarga sebagai tameng untuk menutupi ketidakmampuan. Masyarakat juga harus lebih kritis: hentikan mengagungkan orang karena label, tapi lihatlah prestasi dan kontribusinya.
Penutup: Darah Bukan Pengganti Ilmu
Warisan terbaik seorang ulama bukanlah gelar atau popularitas, melainkan tradisi keilmuan yang ketat dan akhlak yang mulia. Jika fenomena “Gus-gusan” terus dibiarkan menjadi simbol privilege tanpa tanggung jawab, maka yang terjadi bukan kelanjutan estafet keilmuan, melainkan kematian perlahan dari otoritas keagamaan yang berbasis pengetahuan.