Di era ketika statistik menjadi bahasa kekuasaan dan jumlah dianggap sebagai kebenaran utama, manusia perlahan-lahan kehilangan bentuknya yang utuh. Kehidupan dikemas dalam logika massal: berapa banyak yang hadir, berapa banyak yang ikut, berapa banyak yang menonton, seberapa besar rating, berapa juta views, dan seterusnya. Seakan-akan nilai hidup seseorang ditentukan semata oleh kalkulasi jumlah, bukan kualitas, bukan makna, apalagi keberadaan personal yang utuh.
Ini bukan semata kritik terhadap sistem birokrasi yang terlalu menekankan kuantitas. Ini adalah sorotan terhadap cara berpikir masyarakat kita sendiri yang terlalu larut dalam ilusi massifikasi. Kita sering kali terpesona oleh angka-angka besar, seakan di sanalah letak kebenaran, kekuatan, dan keberhasilan. Padahal, justru dalam jumlah besar itu, manusia sering kali menjadi anonim: tak dikenal, tak dihiraukan, dan tak dianggap penting kecuali sebagai bagian dari statistik.
Bayangkan bagaimana sebuah aksi sosial dianggap gagal hanya karena tidak viral, tidak trending, tidak mendatangkan massa. Padahal bisa jadi, satu tindakan kecil menyentuh satu hati yang kemudian mengubah dunia. Tapi karena tak tercatat dalam angka, tak menarik perhatian media, tindakan itu dianggap tak penting. Beginilah kita pelan-pelan digiring oleh logika jumlah menuju nihilisme kemanusiaan.
Di ruang-ruang pendidikan, misalnya, orientasi massal sering kali menyesatkan. Sekolah dinilai dari jumlah siswa, bukan mutu pengajarannya. Mahasiswa dinilai dari nilai IPK, bukan kedalaman pikirannya. Universitas dinilai dari akreditasi dan peringkat, bukan sejauh mana ia melahirkan manusia berintegritas. Akhirnya, yang dikejar bukan lagi keilmuan yang membebaskan, tetapi gelar dan sertifikat yang memuaskan statistik.
Dalam politik, lebih parah lagi. Kampanye dianggap sukses bila mengumpulkan lautan massa, bukan karena gagasan yang substantif. Kandidat dinilai dari hasil polling dan popularitas, bukan karakter atau rekam jejaknya. Demokrasi pun berubah menjadi teater angka, di mana mayoritas sering kali hanya menghasilkan pengulangan kebijakan yang sama, bukan keberpihakan yang lebih manusiawi.
Logika massal juga menghantui dunia dakwah dan keagamaan. Ceramah dinilai sukses bila ditonton jutaan orang di YouTube, bukan karena menggugah kesadaran spiritual. Masjid megah diukur dari seberapa besar jamaah yang hadir saat Jumatan, bukan karena bagaimana masjid itu menjadi rumah bagi kaum dhuafa, bagi yang terluka dan terpinggirkan. Agama lalu menjelma menjadi tontonan kolektif yang kehilangan sentuhan personal dan ruang sunyi kontemplatifnya.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika individu pun mulai menilai dirinya dari jumlah: berapa followers, berapa likes, berapa pujian, berapa views. Harga diri ditentukan oleh seberapa sering ia tampil di linimasa, bukan seberapa dalam ia mengenali dirinya sendiri. Kita hidup di era di mana eksistensi harus divalidasi secara publik. “Aku eksis, maka aku dihitung.” Padahal, manusia bukan soal dihitung, melainkan dihayati.
Di sinilah pentingnya membebaskan diri dari logika angka dan kembali kepada esensi. Kita butuh ruang untuk kembali memaknai manusia sebagai makhluk spiritual, etis, dan eksistensial. Seorang ibu yang merawat satu anak dengan cinta tanpa batas, lebih bermakna daripada seribu pengikut yang pasif. Seorang guru yang membentuk satu murid untuk berpikir kritis, lebih revolusioner daripada institusi yang meluluskan ribuan tanpa makna.
Kita membutuhkan cara berpikir baru yang berani melawan arus. Cara berpikir yang tidak terjebak dalam logika kerumunan, tetapi mampu merayakan keberadaan personal, menumbuhkan nilai, dan menciptakan dampak meski tak selalu terlihat. Sebab dunia ini tidak berubah karena massa, tetapi karena keberanian satu dua orang yang berpikir berbeda dan bertindak dengan keyakinan.
Dalam filsafat Islam klasik, manusia disebut khalifah fil ardh—pemimpin di bumi. Panggilan ini bukan kepada massa anonim, tetapi kepada individu yang sadar akan tugasnya: memperbaiki, menjaga, mencipta, dan merenungi dunia ini. Maka manusia, sekecil apa pun perannya, tetaplah mulia selama ia menghadirkan nilai. Bahkan jika ia tidak dikenal siapa-siapa.
Kita mungkin tak bisa membendung derasnya arus kuantifikasi di era algoritma. Tapi kita bisa memilih untuk tetap sadar: bahwa makna hidup tak bisa dihitung dengan kalkulator, bahwa nilai manusia tak bisa dijumlahkan dalam spreadsheet, dan bahwa kemuliaan seseorang tidak pernah ditentukan oleh berapa banyak ia dilihat, melainkan seberapa dalam ia melihat.
Saatnya kita kembali menimbang hidup dengan ukuran yang manusiawi. Ukuran yang merayakan kehadiran, bukan hanya kehadiran massal. Ukuran yang menghargai kebermaknaan, bukan hanya angka-angka besar yang hampa. Sebab pada akhirnya, sejarah tidak mencatat massa. Sejarah mencatat manusia-manusia kecil yang memilih berpikir dan bertindak dengan benar, meskipun mereka berjalan sendirian.