Di tengah pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), muncul pula sisi gelap yang semakin meresahkan. Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan oleh sebuah video yang memanfaatkan teknologi AI untuk menyuarakan dan menggambarkan peristiwa imajiner “hari pertama di neraka.” Frasa-frasa seperti “halo gaes, hari pertama di neraka bareng temen-temen gue” terdengar dalam video tersebut, yang jelas-jelas bernada olok-olok terhadap konsep keagamaan yang sangat sakral.
Konten video itu, yang dibuat dengan bantuan Google VEO 3, alat AI generatif canggih milik Google dihasilkan hanya dengan sebuah perintah teks (prompt) sederhana. Setelah diekspor, video itu langsung diunggah ke media sosial dan menjadi viral. Sayangnya, viralnya bukan karena pesan edukatif, melainkan karena daya tarik sensasi yang menyinggung nilai-nilai agama. Bentuk penyajian yang seolah-olah humoris tersebut justru memperjelas bagaimana teknologi canggih bisa menjadi alat pelecehan terhadap hal-hal yang suci jika berada di tangan yang tidak bertanggung jawab.
Fenomena ini menguak masalah yang lebih besar: rendahnya kesadaran etika dalam penggunaan teknologi. AI yang kini mampu menghasilkan video realistis dalam hitungan menit seharusnya dimanfaatkan untuk kemajuan, seperti promosi produk UMKM, kampanye sosial, atau pendidikan. Namun, di tangan pengguna dengan sumber daya manusia (SDM) yang rendah secara etika dan pemahaman, justru digunakan untuk membuat parodi yang menyesatkan dan menyakitkan banyak pihak.
Dalam ajaran Islam, mempermainkan hal-hal sakral seperti neraka dan keimanan disebut istihza’, yaitu memperolok agama. Tindakan ini digolongkan sebagai dosa besar dan bahkan dapat menggugurkan iman pelakunya. Allah SWT telah berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentu mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?'” (QS. At-Taubah: 65)
Para pakar etika teknologi juga sudah lama memperingatkan bahwa kecerdasan buatan, jika tidak dibarengi dengan kecerdasan moral, bisa menjadi alat untuk menyebarkan kebencian, misinformasi, bahkan penistaan terhadap agama. Inilah yang kini terjadi, saat AI digunakan untuk membuat hiburan murahan yang merendahkan nilai spiritual dan keyakinan umat.
Seruan kepada Masyarakat Digital
Masyarakat digital, khususnya generasi muda, harus lebih bijak dan selektif dalam menyikapi konten yang beredar. Jangan ikut menyebarkan, mengomentari, atau memberi panggung kepada pembuat konten yang mempermainkan agama. Diamnya umat terhadap penghinaan hanya akan membuka jalan bagi konten sejenis yang lebih ekstrem di masa depan.
Kesimpulan
Kecerdasan buatan adalah alat—bukan musuh, bukan juga penyelamat. Di tangan yang benar, AI mampu membawa manfaat besar bagi kemanusiaan. Namun di tangan yang salah, ia bisa berubah menjadi senjata yang merusak nilai luhur, memecah belah masyarakat, dan menistakan iman. Maka dari itu, kita semua memikul tanggung jawab moral untuk memastikan AI digunakan demi kebaikan, bukan untuk mempermainkan kesucian agama atau martabat manusia.